Panggilan Telepon

5 1 0
                                    

"Bisa lebih pagi lagi, kan?"

"Tapi ini jam lima pagi, Kak." Begitulah berdasarkan jawaban dari google assistant yang Tissa tahu. Faktanya memang di luar masih gelap dan sepi, sedangkan Andre sudah terlihat segar di depan laptop. Jangan-jangan orang di hadapanku ini enggak tidur?

"Kamu bekerja sebagai apa?"

"Butler, tapi-"

"Bagus. Kamu sadar," potong Andre. "Butler bahkan harus standby 24 jam di hotel. Selalu ada saat dibutuhkan. Belum lagi kamu aku minta menggantikan Thomas."

"Sejak kapan ada aturan seperti itu?Aku-"

"Mulai hari ini, kamu menginap saja di room yang dipakai Robbin."

"Tapi aku juga ada kuliah."

"Kirim jadwal kuliahmu ke aku. Aku akan tetap mengganjimu sebagai asisten meski tidak penuh seperti gajinya Robbin."

"Are you sure?" Tissa bertanya. Waspada. Akan tetapi, dalam hati dia sangat kegirangan.

"Aku tidak seperti keluarga Wijaya."

"Ada apa dengan keluargaku, Kak?" Tissa heran.

Bukannya menjawab keheranan Tissa, Andre malah menanyakan detail kesiapan meeting room hotel dan alamat tempat pertemuan di luar hotel.

***

"Yang benar?" Mata Joana membulat.

Tissa mengangguk.

Tissa dan Joana kini di kafe Steve, tempat pelarian dan melepas penat sesaat.

"Amazing. Tidak banyak bahkan belum ada Butler yang mendapatkan kesempatan seberuntung kamu.

Wait, kenapa dia sangat baik?"

"Berarti ada yang dia inginkan dari kamu," sahut Steve yang muncul bersama sebuah botol. Dia menuang isinya ke gelas khusus untuk diracik.

"Baik apa? Agendanya sangat banyak. Seperti deretan aktivitas yang sengaja dirancang untuk bunuh diri, Jo.

So, kalau seperti yang Steve katakan, hanya satu yang dia mau. Dia ingin aku mati biar tidak merecoki kehidupannya. That's it!"

Steve dan Joana tertawa. Tissa mendelik sebal.

"Selamat menikmati minuman kalian, ladies,"

Tissa yang mendapati minuman di hadapannya dan Joana yang disodorkan Steve mengernyit.

"Kok aku jus jeruk?"

"Hari ini istirahat dulu ya, Honey." Steve tersenyum.

"No."

"Tissa. Sudah terlalu banyak alkohol yang kamu minum beberapa hari terakhir ini."

"Aku kuat kok. Aku tidak selemah pikiranmu."

"Ini terkait kesehatanmu. Bukannya agenda Mr. Baskara yang akan bunuh kamu, tapi kebiasaan minummu sendiri."

"Ya tapi jangan jus jeruk juga yang kamu kasih. Aku jauh-jauh ke tempatmu untuk apa? Minimal tequilla boleh dong."

"Steve. Just give her. Kalau dia mati, biar dia rasain. Dia tidak akan pernah melihat Mr. Baskara."

"Wait, ada hubungan apa antara kamu dan tamu VVIP itu?" Steve berubah penasaran.

"Nothing. Itu hanya karangan Joana."

"Ah, kenapa aku cemburu? Tidak biasanya kamu membicarakan pria dengan nada seperti ini. Posisiku terancam sekarang."

Tissa menggeleng geli atas respon dan godaan Steve.

"Kamu tidak akan tergantikan, Steve. You'll always the best for me."

"Jangan memberiku harapan."

"Everyone deserve to have a hope. Seperti yang selalu Joana katakan. Iya, kan, Jo?" sahut Joana

Tissa menoleh pada Joana yang mengaduk-aduk minumannya acak.

"Meski kemungkinan harapan itu terwujud sangat kecil. Apa salahnya berharap. Meski yang kamu harapkan itu tidak mengharapkanmu untuk mendapatkannya, apa salahnya berusaha sedikit saja. Meski jelas tidak akan terbalas, minimal aku tahu alasan aku kecewa."

"The wise Joana as always."

Steve menyepakati kalimat Tissa.

Ponsel Tissa berdering.

"Iya, Ma?"

"Sekarang lagi ngapain?"

"Hanya duduk-duduk."

"Mama kangen sama kamu. Tadi Mama barusan telepon Matt. Dia juga tadi ngobrol sama Oma."

"Mama, kalau mama menelepon untuk terus membujukku bicara dengan Nyonya Wijaya. I've no time," potong Tissa seketika.

"Kalau Mama yang menelpon aku, itu berarti waktu untuk Mama. Kalau dia pengin ngobrol denganku, kenapa bukan dia sendiri yang menghubungi?"

"Kamu tidak pernah mengangkat panggilan dari Oma, sayang."

"Jawabnya jelas. Itu berarti aku tidak mau bicara dengannya," pungkas Tissa.

"Bagaimana dengan uang belanjamu?"

Tissa langsung memutus sambungan telepon tanpa menjawab. Dia segera menarik botol minuman di tangan Steve.

Seperti biasa, Steve dan Joana hanya bisa melihat Tissa yang menenggak wine langsung dari botolnya. Dihentikan pun sia-sia.

"Dia menyiksa dirinya lagi. Sampai sekarang aku masih tidak paham apa malasahnya dengan keluarga," gumam Steve.

"Masalahnya jauh lebih pelik dari yang terlihat. Aku salut dia masih bertahan sampai sekarang. Keberadaan si tamu VVIP itu sedikit mengalihkannya. Bukan sedikit, banyak."

"Jo, you understand me so well. Kak Andre memang satu-satunya harapanku. Apa pun yang dia suruh, yang dia minta ke depan, akan aku lakukan. Apa pun."

"Cukup, Tissa. Kamu sudah mulai mabuk. Kamu bisa mati karena alkohol kalau seperti ini."

"Mungkin itulah yang diharapkan keluarga Wijaya terhadapku. Aku hanya beban. I'm just a family's black sheep. Keluarga mana pun pasti malu memiliki anak seperti aku. Jika bisa, lebih baik dienyahkan bahkan sebelum lahir."

Kalimat Sarah Pantjaratna, nyonya Wijaya kembali mengiang. Pandangannya terhadap Tissa tercetak jelas di ingatan.

Mata Tissa berubah panas. Dadanya sesak. Air mata yang dia tahan-tahan meski mabuk tetap mengalir. Sialan! Air mata pun tidak memedulikanku.

"Tissa. Kamu sudah mulai meracau. Ayo kita pulang."

===

First published: Senin, 30 November 2020

Bless and CurseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang