Setelah memastikan keperluan Andre tersedia, Tissa berangkat ke kampus.
Mata kuliah pertama adalah Statistik. Dia tidak perlu memaksakan diri mengikuti pembahasannya. Percuma. Dia hanya tidur.
Clara, dosen pengampu mata kuliah tersebut pun tahu kebiasan dan alasan Tissa. Tissa sudah memberitahunya. Lebih tepat lagi, Clara mengetahuinya terlebih dahulu.
Setiap kelas, Tissa terlihat tidak antusias. Semakin Clara menjelaskan, Tissa semakin bingung. Saat ujian, Tissa tidak mampu mengerjakannya. Jawabnya tidak ada yang salah, tetapi tidak ada yang dijawab.
Tissa pun diajak makan siang oleh Clara. Di pojokan kantin kampus yang cukup sepi, Tissa duduk berhadapan dengan Clara untuk pertama kalinya.
Mata Clara adalah yang pertama kali tidak menghakimi Tissa ketika mengetahui apa yang selama ini dia sembunyikan.
Kalimat Clara sangat sederhana, "Maaf aku tidak mengetahuinya sejak awal."
Kalimat pembuka wanita yang seumuran mamanya tersebut menghangatkannya dalam sekejap. Dia pun berterus terang.
"Setiap orang punya sisi yang dia sembunyikan. Bagi kebanyakan orang, itu adalah kelemahan. Padahal, di sisi lain, itu jadi kelebihan bagi orang lain."
"Maksudmu?"
"Tidak perlu kita bahas dulu. Sekarang, kita nikmati saja makanan kita. Kamu pasti sudah lapar."
Tissa tersenyum kaku dan menuruti saja.
***
"Selanjutnya, meeting jam berapa?" tanya Andre.
Tissa yang ditanya tidak menyahut. Dia sibuk membolak-balik halaman majalah.
"Hei."
"Namaku bukan 'hei'. Aku punya nama."
"Aku malas bercanda."
"Aku enggak bercanda kok. Aku punya nama. Semua memanggil namaku. Kak Andre mana pernah?"
"Meeting selanjutnya jam berapa?"
"Kali ini Kak Andre tidak perlu tahu. Kita langsung saja ke lokasi."
Tissa menarik tangan Andre hingga terbangun dan keluar kamar yang berfungsi sekaligus sebagai kantor selama Andre di New Zealand.
Tissa harus bersusah payah melakukannya karena postur tubuh Andre jelas lebih tinggi dan berat.
"Kamu kenapa?" tanya Andre begitu saat di dalam elevator.
"I'm okay. Apa aku terlihat aneh?"
"Kamu sudah aneh dari dulu."
"Wah, aku jadi senang. Kak Andre ternyata memperhatikan aku dari dulu. Terus kenapa harus bersikap sok cuek sih?"
Andre mendesah dan menggeleng-geleng pelan kepalanya.
"Aku masih sama seperti dulu. Sekarang tambah cantik. Semua pria yang sempat kenalan denganku selalu mengaku menjadi pacarku. Faktanya, cuma pernah ngobrol sekali.
Teru Kak Andre, malah menyia-nyiakan cewek cantik sepertiku. Nanti menyesal, baru tahu rasa. Disalip orang lain lagi loh."
Seperti biasa, Andre berjalan lurus ke depan lobby menuju mobil tanpa melirik kanan atau kirinya. Menyambut salam pun tidak. Dasar robot hidup!
"Kenapa ke fashion shop?"
"Ganti outfit."
"Kak, lokasinya sekarang di lapangan golf. Kak Andre mau dianggap salah kostum?"
"Kenapa harus aku yang menyesuaikan? Aku yang mengendalikan keadaan."
"Ah, sudah. Pokoknya nurut sama aku kali ini saja."
Andre mengembuskan napas kasar. Dia pun akhirnya menuruti arahan Tissa, mengganti pakaian kerja yang dikenakannya sekarang dengan pakaian kasual.
"Wow! Dia pasti langsung rendah diri," seru Tissa kagum begitu melihat tampilan Andre.
"Siapa yang bakal rendah diri?"
"Seseorang."
"Pacarmu?"
"Kartu."
Andre tersenyum miring sambil menyodorkan kartu berwarna hitam. Tissa meringis. Dia tidak peduli dengan apa yang bakal Andre pikirkan tentangnya. Yang penting sekarang misinya terwujud.
Setelah berkendara sekitar 15 menit, mereka tiba di sebuah lokasi golf yang sangat luas dan mewah. Para Caddy sangat cantik dalam balutan seragam sport mereka. "Kendaraan" yang mengantarkan pun sangat canggih.
"Good afternoon, Sir." Tissa langsung menuju seorang pria paruh baya yang sedang asyik memprediksi sekuat apa pukulan yang dikeluarkan untuk memasukkan bola tepat ke dalam lubang. Di sekitarnya, berdiri beberapa Caddy berpakaian dominan warna putih. Di bagian dada kaos yang dikenakan, tertulis "Brilliant Golf".
"Hey, Tissa? Apa yang kamu lakukan di sini?"
"Yang dilakukan orang-orang di lapangan golf. Sekalian kencan."
"Wow. Jangan bilang ini pasangan kencanmu?"
"As you see." Tissa meraih lengan Andre dalam rangkulannya.
"Dia pasti menyayangimu. Sayang sekali. Padahal aku sangat ingin kamu jadi menantuku."
"Mau bagaimana? Hatiku sudah ada yang punya. Mr. Baskara adalah duniaku."
"Tissa?"
"Hi. Long time no see. Kamu terlihat semakin ...."
"Aku tidak bisa melupakanmu, Tissa. Kamu satu-satunya di hatiku. Aku enggak bisa berhenti memikirkan kamu. Aku menyesal. Aku tidak akan mengulangi kesalahanku lagi."
"Akan. Berarti sekarang masih, kan?"
"Tissa—"
Badan Tissa terasa seperti terbang. Dalam sekejap dia sudah berada dalam pelukan Andre. Mata Tissa membulat.
Otaknya berusaha menelaah yang terjadi. Tadi Steven hendak meraih tangannya, tetapi Andre dengan secepat kilat menarik tangan Tissa yang lain hingga badannya berada dalam rangkulan Andre.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi. Kamu berhutang penjelasan terhadapku," bisik Andre di telinga Tissa. Tissa mengangguk pelan.
"Mr. Baskara, kenapa jadi seperti ini?"
"Jangan sentuh dia. She's my girl. Berani menyakiti dan menyentuhnya, orang itu akan berurusan denganku.
"Wait. Mr. Baskara? Tamu VVIP Galaxy City? Astaga! Seharusnya aku menjamumu dengan layak. Mari kita bicara lebih layak di paviliun.
Steven, kenapa kamu tidak memberitahuku? Bukannya kamu sudah pernah meeting dengannya?" Steven tergagap.
"Caddy, antar mereka ke sana."
"Mr. Baskara. Aku merasa terhormat tempat ini didatangi oleh orang penting dan berkarisma. Maaf jika penyambutan dan sikap putraku sangat buruk."
"Bagus jika disadari. Sayangnya, kami harus pergi. Berlama-lama di sini, only make her sad and hurt." Andre menatap tajam bapak dan anak tersebut.
Dia meraih salah satu pergelangan Tissa dan mengandengnya menjauh, keluar dari lapangan golf.
===
First published: Senin, 30 November 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Bless and Curse
General FictionMeski nyaman, bagi Tissa, New Zealand tidak lebih dari tempat pembuangan dirinya, menyembunyikan 'black sheep' keluarga? Kebencian Oma, pemindahan dirinya oleh Mama dan diamnya Papa membuat kecewanya memuncak. Tissa memilih hidup cuek dengan pekerja...