Bab 1: Rencana

35 1 0
                                    

             "Mel, bisa gak sih nyayi yang bener? Kalau begini terus mana bisa lo ikut lomba nyanyi se-Indonesia? Gua 'kan juga capek ngelatihnya," bentak Alvaro yang merupakan pelatih vokal Melody sejak bulan lalu. Alvaro memang baik. Namun, jika ada anak didiknya yang terus-menerus berbuat kesalahan ia tidak akan segan memarahi mereka.

               Seorang gadis berusia delapan belas tahun berdiri mematung di depan Alvaro. Melody Ranica namanya. Ia adalah anak didik Alvaro termuda. Melody, begitu sapaannya, sejak kecil ingin sekali menjadi penyanyi hebat. Memiliki penggemar di sana-sini, menjual ratusan ribu copy lagu, mengeluarkan album setiap tahun, dan go international seperti Agnes Mo. Impian itu akan Melody wujudkan sebentar lagi. Ia akan mengikuti audisi Indonesia Bernyanyi di Jakarta. Oleh sebab itu, ia rela meluangkan waktunya untuk latihan bersama Alvaro yang dikenal dingin dan galak.

              "Iya, Kak. Maaf, ya. Melody susah banget nembak nadanya. Melody janji akan belajar lagi," ucap Melody yang sedang diliputi perasaan takut. Ia tidak berani menatap mata Alvaro. Ia hanya menunduk melihat kedua kakinya yang tidak kuasa kabur.

               Dari kejauhan, sosok Priyo menatap mereka berdua yang tengah bersitegang. Priyo adalah teman Melody sejak mereka SMP. Pertemuan mereka terjadi kala mengikuti ekstrakurikuler paduan suara. Keduanya merasa cocok karena sama-sama memiliki passion di dunia tarik suara. Pertemanan mereka berlanjut hingga sekarang. Priyo adalah salah satu orang yang merekomendasikan Melody untuk berlatih di sini bersamanya. Sebenarnya Priyo juga tidak sampai hati melihat Melody dimarahi hampir setiap hari oleh Alvaro. Namun, mau bagaimana lagi? Melody selalu berbuat kesalahan di setiap tarikan napas dan untaian nada yang dinyanyikan.

             "Baiklah teman-teman. Kita istirahat dulu lima belas menit!" perintah Alvaro yang segera beranjak dari tempatnya memarahi Melody. Alvaro melangkah ke sudut ruangan, duduk di samping pintu kaca dan mulai mengeluarkan handphone-nya. Seperti biasa, ia menjauh dari keramaian.

               Priyo segera menghampiri Melody. Ia memberi Melody sebotol air kemasan yang baru saja dibeli dan duduk di sampingnya.

              "Yo, kenapa sih gua diomelin mulu. Namanya juga belajar. Ya... pasti ada salahnya. Gua jadi ragu. Apa gua harus batalin niat buat ikut kompetisi Indonesia Bernyanyi?" Melody terdengar letih dan putus asa.

             "Yah... jangan nyerah gitu dong. Lo 'kan baru latihan sebulan di sini. It's okay kalau belum terbiasa. Apalagi cara ngajar Alvaro memang tegas," Priyo berusaha menyemangati Melody. Ia meneguk air dan melirik ke kanan-kiri mereka, memperhatikan teman-teman lain yang juga sedang berisitrahat. Di sudut ruangan, terlihat Alvaro duduk menyendiri seraya memainkan handphone-nya.

            "Lo ada saran gak supaya gua bisa nyanyi dengan bagus? Biar Kak Alvaro tobat marah-marah dan gua juga bisa keterima, nih di audisi Indonesia Bernyanyi nanti," Melody bertanya penuh harap. Jujur saja, ia sudah muak dimarahi oleh Alvaro. Meski wajah tampannya membuat Melody semangat latihan, kalau kena marah terus siapa sih orang yang tahan?

             Priyo diam sejenak. Dahinya berkerut. Matanya menyipit. Sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu yang sangat rahasia dan misterius. Tangannya meremas botol air kemasan yang kosong. Priyo menghela napas panjang. Beberapa detik kemudian, ia menatap lurus Melody yang jantungnya sedang berdebar menunggu jawaban.

            "Sebenarnya ada, Mel. Tapi gua yakin lo bukan orang yang percaya sama hal-hal gaib. Iya 'kan?" selidik Priyo. Priyo memang orang yang percaya dengan segala sesuatu yang berbau mistis. Maklum, setiap malam ia menonton acara ramalan, berburu hantu, atau urban legend. Katanya sih acaranya seru. Namun, hal itu kadang membuatnya sedikit ketakutan tanpa sebab dan tidak realistis.

Microphone BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang