Bab 2: De Antiekwinkel van Meneer Jansen

10 1 0
                                    

              Sinar terik matahari menjadi atap berlindung Melody di tengah ramainya Kota Tua. Lalu-lalang sepeda membuat kepala dan matanya semakin pusing. Sudah tiga puluh menit ia menunggu Priyo. Kakinya berjalan perlahan menyusuri Kota Tua, berharap menemukan Priyo atau toko barang antik itu. Namun, yang terlihat hanyalah penjual es krim keliling yang harganya selangit. Rasa kesal mulai menjalar dari ujung kaki hingga ubun-ubun. Priyo datang terlambat dari jadwal seharusnya. Apa yang harus ia lakukan? Panas. Kepala pusing. Kaki pegal. Sendirian tanpa teman.

            Dari kejauhan, terlihat sosok laki-laki bertubuh kurus dibalut kulit sawo matang. Ia membawa tas ransel usang yang belum pernah diganti sejak SMA. Sepatu putihnya berubah menjadi abu-abu karena jarang disikat. Begitulah hidupnya yang sebatang kara. Kasihan sebenarnya. Namun, laki-laki ini sering membuat orang lain kesal, terutama Melody karena sering terlambat. Itu pasti Priyo. Akhirnya dia datang. Inilah saatnya, batin Melody.

           "Lama banget lo. Gua kepanasan tau nungguin lo. Gak heran banyak orang yang kesal sama lo. Telat terus sih," cerocos Melody sambal membetulkan letak topinya yang miring.

          "Sabar dong... Tadi gua telat bangun. Jadi lama deh, hehehe... Ya... lo tahu 'kan gua harus siapin makan siang sendiri, cuci baju sendiri, bersihin rumah sendiri. Maklumlah," tawa Priyo membuat Melody semakin kesal dan panas.

           "Ya, memang. Tapi gak setiap ketemuan lo telat, kali. Udahlah. Daripada kita ribut panas-panas gini, lebih baik langsung aja kita bergegas. Sekarang, cepat kita cari tokonya! Lo tau 'kan di mana?" tanya Melody yang berusaha sabar menahan emosi.

           "Iya, tau. Lo beneran sudah yakin sama pilihan ini?" Priyo memastikan lagi, takut Melody hanya bercanda saja kemarin.

           "Iya, Priyo... Buruan yuk jalan! Panas, nih gak kuat," Melody menarik tas ransel Priyo.

            Mereka berjalan tertatih-tatih di bawah teriknya matahari. Perjalanan dimulai dengan meninggalkan kawasan Kota Tua. Tiba-tiba, matahari mulai redup tertutup awan hitam. Meski terlihat sedikit menakutkan, hal ini menjadi berkah tersendiri bagi mereka yang sedari tadi terpapar matahari. Mereka berjalan terus hingga tiba di suatu gang kecil yang sempit. Kumpulan sampah menyambut di sisi kanan dan kiri. Gang itu gelap, tertutup beberapa pohon beringin lebat. Tidak ada rumah-rumah penduduk. Hanya tembok semen yang berdiri kokoh membentuk gang itu. Aneh, ada bau tidak sedap yang menusuk hidung mereka sampai ke tulang.

             "Yo... Bau... Jangan bilang gara-gara kesiangan lo belom mandi. Uwek!" Melody mengeluarkan tisu dan menutup hidungnya. Baunya menyengat sekali, ingin muntah rasanya. Tadi panas, sekarang bau. Cobaan apalagi yang sedang menimpa mereka? Melody tidak habis pikir ini adalah permulaan yang sangat sulit.

              "Eh, awas, Mel!" Priyo menarik tangan Melody secepat kilat lebih dekat ke sampingnya.

             "Ada apa?" tanya Melody dengan ekspresi bingung dan sedikit takut. Ia tidak memikirkan bau itu lagi karena tertutup rasa kaget akibat teriakan Priyo.

             "Ada bangkai kucing hitam. Tuh, liat deh! Tadi lo hampir nginjek dia," tangan Priyo menunjuk bangkai kucing yang tergeletak lemas di tengah jalan. Tubuh kurus kucing itu dipenuhi belatung. Darahnya mengering di jalan. Salah satu bola matanya lepas dan menggelinding di sekitar tubuhnya. Sungguh mengerikan.

              Melody tidak sanggup melihat fenomena itu. Ia menutup matanya dengan tangan kanan. Tangan kirinya masih menutup hidung dengan tisu. Ia melirik ke arah Priyo. Aneh. Priyo terlihat senang melihat jasad kucing itu. Apa jangan-jangan? Tidak. Melody segera mengusir pikiran buruk tentang Priyo dari otaknya. Akhirnya, ia berusaha mencairkan suasana yang kian mencekam.

Microphone BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang