Bab 3: Kekuatan Jahat

6 1 0
                                    

          Melody merebahkan tubuhnya di kasur yang empuk. Segera saja, ia mencari kain putih di dalam lemari pakaian. Kain putih tersebut agak robek dan kusam. Ia tidak peduli. Dibukanya tas berisi microphone dan dikeluarkannya barang antik itu dengan hati-hati. Seulas senyum mengembang di bibirnya. Ia merasakan emosi yang sangat kuat untuk segera memenangkan Indonesia Bernyanyi dan bersikap sombong di depan Alvaro.

          Ia bangkit berdiri mencari benda tajam apa pun di sekitarnya yang bisa membantu menghasilkan tiga tetes darah. Pandangannya tertuju pada gunting yang ada di atas meja belajar. Tangannya mulai mengambil gunting itu. Ragu-ragu, gunting itu dietakkannya kembali ke atas meja. Apa gua sudah gila? Apa harus gua menyakiti diri sendiri? Melody membatin dalam hati. Namun, semua itu harus ia lakukan. Microphone sudah ada di depan matanya, menanti untuk digunakan. Beberapa menit kemudian, tangannya menggenggam erat gunting itu lagi. Dalam hitungan tiga... dua... satu...

          "Argh!" tetesan darah mengalir keluar dari jarinya yang telah disayat. Perih. Ia meneteskan darah itu ke atas kain. Tiga tetes darah menodai kain itu.

          Microphone yang sejak tadi menanti dibungkusnya ke dalam kain. Melody menatap bungkusan itu cukup lama. Otaknya berpikir keras tempat yang tepat untuk menyimpan itu. Di bawah ranjang? Tidak, terlalu susah untuk diambil. Di dalam lemari? Tidak. Asisten rumah tangganya sering membuka lemari untuk merapikan pakaian. Ya. Ada satu tempat. Laci meja belajar. Tidak ada seorang pun yang pernah membuka lacinya kecuali Melody sendiri. Akhirnya, ia menyembunyikannya di salah satu laci meja belajar yang belum pernah ia sentuh. Sempurna, katanya dalam hati.

          Melody membuka matanya. Cahaya lampu di meja sebelah tempat tidur membuatnya silau. Ia melihat ke arah jam dinding abu-abu. Jarum jam menunjukkan pukul 03.00 WIB. Masih subuh, pikirnya. Ia berusaha memejamkan matanya lagi, melanjutkan petualangannya di alam mimpi. Heran, kelopak matanya seolah menolak terpejam. Keringat dingin bercucuran membasahi tubuhnya. Tidak seperti biasanya ia berkeringat saat terlelap. Padahal AC di dalam kamarnya cukup dingin. Melody menyeka dahi dan keningnya lalu berusaha kembali memejamkan mata.

          Duk duk duk! Sebuah suara dentuman terdengar di dalam kamar. Melody penasaran. Tubuhnya sekarang dalam posisi duduk. Ia memasang tajam indra pendengarannya berusaha mencari asal suara itu.

          Duk duk duk! Suara itu kembali terdengar. Kepalanya perlahan menoleh ke laci meja belajarnya. Microphone itu pasti yang menimbulkan suara ini. Dilihatnya laci itu dengan saksama. Apa? Lacinya terbuka? Tadi sudah gua tutup. Rasa penasarannya berubah menjadi rasa takut. Ia segera mengambil selimut dan bersembunyi di baliknya. Dicengkeramnya selimut dengan erat. Semakin rapat ia menutup selimutnya, semakin kencang suara itu terdengar. Perlahan, ada sesuatu yang menyentuh tubuhnya. Sebuah tangan berusaha menarik selimutnya. Merayap ke kaki, punggung, dan hampir sampai kepala. Jangan! Tolong!! Jangan ganggu saya! Argh!!! Selimut berhasil tertarik dan jatuh ke lantai. Sosok itu berada tepat di depan wajahnya. Ia ingin kabur. Namun, kaki dan tangannya mendadak mati rasa. Tidak bisa digerakkan. Sosok itu mendekat. Rambut sosok itu menyentuh leher dan menutupi wajah Melody. Siap tidak siap, ia harus membuka matanya untuk menghadapi makhluk itu.

           "Bangun, Kak! Sudah pagi nih. Hari ini kakak 'kan ada jadwal latihan vokal jam sembilan pagi. Cepat mandi!" Livia, adik Melody yang masih duduk di bangku SMP membangunkannya. Melody lompat dari tempat tidur. Memandang ke segala penjuru kamarnya mencari sosok menyeramkan yang tadi mengganggunya. Ternyata semua itu hanya mimpi. Livia yang membuka selimut. Huh... dasar adik menyebalkan. Bikin takut saja, gerutu hatinya.

          "Iya. Aku akan mandi. Kamu keluar dulu sana!" Melody menyuruh Livia keluar kamar. Setelah ia seorang diri, ia mengambil microphone yang tersimpan di dalam laci. Tidak ada apa-apa. Masih sama. Hanya sebuah microphone yang terbungkus kain putih yang bersembunyi di laci yang tertutup rapat. Ia segera memasukkannya ke dalam tas. Rasanya ia sangat tidak sabar untuk bernyanyi dengan merdu di depan Alvaro pagi ini.

Microphone BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang