"Memper Hardaning Pancadriya."
[Assalamualaikum ....]
Salam manis itu kuterima melalui pesan WhatsApp yang dikirim oleh mantan sekretaris kelas ketika aku masih SMA dulu. Tidak pernah terpungkiri, lelaki yang keberadaannya telah membuatku tenggelam dalam angan, kini datang dengan salam manis seolah menghormati jalan hijrahku. Aku tidak pernah menyangka, bahwa dia akan datang dengan santunnya walau tidak bertatap muka.
Kata mereka, aku ini gadis yang bisa dibilang lugu dan pemalu. Setelah aku memasuki masa putih biru, aku menjadi sangat jarang atau bahkan tidak pernah berbicara dengan lawan jenis, kecuali bapakku. Banyak pasang mata yang yang menganggapku ini orang yang aneh, tetapi ada juga yang menganggap kediamanku ini adalah hijrah yang tidak ingin terganggu.
Tiga tahun aku merasakan masa SMA, dan lebih dua tahun aku berhasil memendam rasa, lalu dia datang dengan salam yang membuatku bahagia. Astaghfirullahalazim .... Aku tidak boleh GR dulu. Apa dulu yang ingin dia katakan? Terlalu berharap itu menyakitkan, bukan?
[Waalaikumussalam warahmatullah.] balasku singkat. Tanpa basa-basi, tanpa bertanya, 'Ada apa? Kenapa? Perlu apa?', dan intinya tanpa bertingkah sok akrab. Ya, itulah aku. Bicara yang penting-penting saja. Tidak cuek, tetapi juga tidak ramah.
[Bagaimana kabarmu?]
Apa? Dia menanyakan kabarku? Yang benar saja! Kenapa harus aku?
Dia itu tipe lelaki yang pendiam, tetapi penuh tanggung jawab. Buktinya ia selalu mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru dengan penuh tanggung jawab. Kalau dilihat dari perawakannya, dia itu lugu, sama sepertiku. Bedanya dia lebih berani untuk bersosialiasasi jika dibandingkan denganku. Kalau dia berani memulai duluan, apa aku ini spesial? Astaghfirullahalazim .... Cukup halunya, Rani!
[Alhamdulillah ... baik] balasku singkat.
'Kamu sendiri?' Ah ... jangan, Ran! Malulah aku kalau harus berbalik tanya kepadanya. Perempuan itu harga dirinya mahal!
Iya, kalau itu benar dia. Kalau chat itu dari temannya yang sengaja usil? Ya, apeslah aku! Bagaimana jika mereka menertawakanku?
[Alhamdulillah, bagaimana kamu sekarang? Masih kuliah atau sudah kerja?]
"Baru lulus bulan lalu, kerja."
[Alhamdulillah.]
Bagaimana dengan dia? Kuliah atau kerja? Atau jangan-jangan ... sudah berkeluarga? Eh, astaghfirullah.
"Nduk!"
Panggilan ibuku mendadak membuat rasa kasmaranku tersentak. Aku pun langsung mematikan ponselku dan beralih menuju tempat ibuku.
"Nduk, kamu sibuk, tah? Bisa tolong belikan terigu?" ucap Ibu sembari mengaduk kelapa yang akan digunakan untuk isi jajanan yang didagangkan.
Sejak bapakku jatuh sakit sewaktu aku berjuang untuk kelulusan SMA, dan tubuhnya sering melemah untuk bekerja, ibu menjadi tulang punggung untuk keluarga kami. Beliau berkeliling di pasar terdekat, lalu menawarkan kue-kue tradisional itu.
Rasa khas itu tidak pernah berubah hingga sekarang. Begitu pun wajah ibuku yang tampak girang ketika dagangan yang dibawanya habis terjual, dan terkadang sering tampak ketika jajanan itu tidak habis bahkan masih utuh dati jumlah aslinya.
"Tidak, kok, Bu. Aku bisa belikan sekarang, kok."
Kenapa tidak? Aku senang jika bisa menikmati segarnya dunia luar. Aku yang menjadi anak rumahan ini juga suka jika melihat indahnya pemandangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilema Hati Asmarani (Terbit)
RomanceTerinspirasi dari 7 Falsafah Ajaran Sunan Drajat *** Cinta 'tak harus memiliki, bukan? Pun seperti impian yang didambakan, tetapi 'tak dikehendaki sebagai alur yang terbaik oleh Tuhan. Bertahun-tahun tidak bertemu sapa, dan saat kenal pun memang 'ta...