"Memper hardaning pancadriya."
Ternyata benar, itu memang Diandra. Aku dapat melihatnya dari cara berjalan dan cara berbicaranya. Logatnya yang santun dan bahasanya masih sama seperti yang dulu, membuatku benar-benar yakin bahwa ia adalah Diandra.
"Ada pulpen?" ucapnya di sampingku sembari menggoyang-goyangkan tangan seolah memeragakan bahwa ia mengiginkan sebuah pena. Mungkin karena dia melihatku membawa tas sekolah, lalu ia berpikir bahwa aku membawa pena untuk tugasku.
Waktu itu guru hanya meminta perwakilan kelas untuk mengumpulkan tugas bahasa Jawa. Kemudian, Diandra bersedia untuk itu. Setelah aku dan ibu menunggu lama untuk mengumpulkan tugas di depan toko fotocopy, dia terlihat baru datang dengan menggunakan jaket ungu.
"Ada," jawabku singkat. Kemudian aku mulai mengoprek tas cokelatku dan memberikan sebuah pena hitam untuknya.
Setelah ia menerima pena itu, ia beranjak ke teras toko itu dan mulai menuliskan sesuatu pada secarik kertas. Entah apa yang ia tuliskan, aku benar-benar tidak menghiraukannya. Tidak lama kemudian, ia kembali untuk mengembalikan pena itu.
"Terima kasih," ucapnya sembari memberikan pena hitam itu. Aku hanya mengangguk kecil untuk menjawab ucapannya.
Aku heran, kenapa ia sedikit menunduk dan merendahkan diri untuk memberikan benda kecil itu? Aku ini satu tahun lebih muda darinya, tetapi dia memperlakukanku dengan sangat hormat. Berbeda ketika aku melihatnya memberikan sesuatu pada teman yang lain, ketika dengan sikap yang biasa, ia langsung memberikan benda yang dipinjam tanpa menunduk sopan seperti itu. Kemudian, dengan santainya, ia langsung mengucap, "Makasih ...."
Untuk apa dia ke sini? Kalau dia berkendara dari kediaman untuk sampai sini, pasti membutuhkan waktu hampir satu jam untuk sampai. Dulu, jarak rumahku untuk ke sekolah adalah jarak yang paling jauh. Kalau memang benar, siapa yang mengirimi pesan tadi? Aku bingung, bagaimana dia bisa ada di sini, sementara tadi masih mengirim pesan di WhatsApp? Siapa jika bukan dia? Apakah HP-nya ketinggalan?
Aku mulai memberanikan diri untuk menapak pada teras warung sembako. Bermodal kerudung segi empat satin berwarna hitam, aku berusaha menutup wajahku dengan menunduk agar wajah sampingku tersembunyi, dan ia tidak dapat mengenalku.
Bu Hana--guru pendidikan agama di SMA-ku--yang mengajariku untuk menunduk ketika bertemu dengan lawan jenisku.
"Terima kasih, Buk," ucapnya sembari membawa kantong plastik putih berisi sabun mandi, pasta gigi, sampo, dan sikat gigi.
Ternyata Diandra tidak terburu-buru untuk pergi. Ia masih setia melihat isi dari kantong plastik itu. Mungkin saja ia sedang memastikan bahwa tidak ada barang yang terlupa. Aku dapat merasakan langkahnya yang semakin melambat dan mulai membalikkan badan kembali ke arah wajah warung itu.
"Bu, sabun piringnya satu," ujarnya sembari melangkah-langkahkan kakinya mendekat pada Mbak Asih.
Aku yang tersentak gugup langsung memalingkan pandangan darinya, sementara Mbak Asih langsung mengambilkan sabun colek untuk Diandra. Bersamaan ketika Diandra memberikan sejumlah uang, Mbak Asih memberikan sabun itu untuknya.
"Terima kasih, Buk," ucapnya lirih. Kemudian, ia mulai bergegas pelan untuk pergi.
Dia itu sangat rajin dan aktif. Jika anak laki-laki yang lain memilih untuk menjadi siswa biasa, dia lebih memilih menjadi siswa yang memiliki keunggulan lain di bidang yang disuka. Dulu, dia adalah salah satu anak laki-laki yang aktif dalam kegiatan kepramukaan di SMA. Kegiatan kepramukaan yang diikutinya di SMA Negeri itu selalu dijalankan dengan penuh tanggung jawab.
Selain aktif di bidang kepramukaan, Diandra ini juga aktif dalam bidang atlet dan olah raga. Berbeda denganku yang aktif di bidang ilmiah ketika di sekolah dan bidang literasi ketika di rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilema Hati Asmarani (Terbit)
RomanceTerinspirasi dari 7 Falsafah Ajaran Sunan Drajat *** Cinta 'tak harus memiliki, bukan? Pun seperti impian yang didambakan, tetapi 'tak dikehendaki sebagai alur yang terbaik oleh Tuhan. Bertahun-tahun tidak bertemu sapa, dan saat kenal pun memang 'ta...