Prolog

1.3K 88 3
                                    

Aku berlari sekuat tenagaku, aku harus menghindari mereka. Haha, miris sekali. Orang yang seharusnya menjadi tempat berlindungku malah menjadi penyebab ketakutan serta kegelisahanku.

Sialan! Lagi lagi air mata ini menetes seenaknya, rasanya sakit sekali. Aku sudah tidak kuat, kenapa tidak ada orang yang mau mengerti diriku? Aku tidak meminta banyak. Aku hanya ingin mereka berhenti menggoreskan luka di hatiku yang sudah di penuhi banyak luka! Tolong mengerti!

Rasa perih di telapak kakiku yang tergores oleh ranting pohon yang sudah membusuk tidak kupedulikan lagi, yang terpenting. Nyawaku sedang terancam, dan kalian tahu siapa yang mengncam nyawaku? Keluargaku sendiri!

Kutolehkan lagi kepalaku kebelakang, ternyata. Kakakku masih mengejarku. Dia menggunakan seluruh kekutannya untuk menangkapku, ya. Menangkapku hanya demi anak seorang selir itu.

Ayahku melompat dari pohon kepohon. Astaga! Sebegitu sayangkah mereka pada anak selir itu? Kenapa sakit sekali melihatnya, kakakku yang mengejarku dari belakang semakin mendekat, sementara Ayahku hanya mengawasiku dari pohon pohon, ia melompat kepohon satu menuju pohon lainnya mengikuti arah langkah kakiku. Sedangkan si pemeran utama dari kejadian ini, hanya mengambang di udara menggunakan kekuatannya, tatapan meremehkannya tidak bisa terelakkan.

Hingga mataku menatap sebuah jalan buntu, disana ada jurang yang begitu dalam. Ah! Aku ingat, tempat ini adalah tempat yang kugunakan untuk menengkan diri, apakah aku akan berakhir disini?

"Tolong! Percaya padaku! Aku tidak melakukannya!"Aku berteriak lantang ketika telah sampai di tepian jurang, tidak ada jalan lain selain bernegoisasi.

Ayahku melompat turun dari atas dahan pohon yang di pijakinya, mensejajarkan tubuhnya dengan kakakku. Begitupun perempuan rubah itu ia turun dengan sangat anggun bersama ibunya,huek! Menjijikkan!

"Kenapa aku harus percaya pada omong kosongmu?!"Ayahku menyahut sinis, senyuman mengejek terpampang jelas di wajahnya.

Aku mengepalkan kedua tanganku, meremas gaun tidur yang kukenakan"Apakah kau tidak ingin percaya kepada anakmu sendiri?"Aku bertanya sedih, rasanya sakit sekali.

Kakakku menyeringai kearahku"Kau pikir Ayah akan sudi mempunyai anak pembawa sial sepertimu?! Kau jangan lupa siapa yang menyebabkan kematian ibuku!"Dia bahkan mengatakan 'ibuku' ketibang ibu yang lebih pantas di sebut agar tidak menyakiti perasaanku.

"Kalian tahu? Aku bahkan tidak menginginkan kematian ibu!"Teriakku, air mataku sudah seperti air terjun yang mengucur deras.

Apakah mereka tidak sadar? Sudah berapa banyak luka yang mereka berikan kepadaku, apakah mereka tidak memiliki hati nurani. Pada akhirnya mataku menatap nyalang pada keempat orang itu.

Aku memperhatikan wajah mereka satu persatu, Ayah dan Kakakku tampak menggeram menahan amarah. Sedangkan kedua rubah licik itu menatap penuh kemenangan ke arahku.

"Tutup mulutmu! Kau tidak pantas menyebut wanita yang kuncintai sebagai ibumu!"Lagi lagi kalimat itu yang kuterima setiap kali aku menyebut kata ibu.

Tapi tak apa, aku merasa senang, karena hal itu dapat membangkitkan sedikit emosi rubah itu, lihatlah wajahnya sekarang. Api kecemburuan di matanya tak dapat di sembunyikannya, cih! Dasar orang gila, kepada orang yang sudah mati saja dia cemburu.

"Kenapa tidak boleh?! Walaupun kau terus mengelak, kenyataanya aku tetaplah anakmu!"

Perasaan bergejolak yang sedari tadi kutahan tak mampu kubendung lagi, aku ingin melepaskannya sekarang aku tidak tahan. Kepalaku berdengung hanya karena aku terus menahan gejolak itu.

"Cih. Seharusnya ibu saat itu menggugurkanmu saja"Badanku membeku, nafasku tercekat, dengan tangan gemetar. Aku memegang anak panah yang tertancap di dada kiriku, aku tidak bisa merasakan hawa kehadiran panah ini, gerakannya begitu cepat.

Aku mengangkat wajahku yang sedang menatap ke arah anak panah yang tertancap menembus tubuhku, menatap penuh benci ke arah seorang pria yang sedang berdiri di sebuah dahan pohon yang sempat di pijaki Ayahku tadi. Dia kakak keduaku.

Mata Ayah dan Kakak pertamaku sempat melebar melihat kejadian itu, namun mereka cepat cepat mengubah kembali raut wajahnya. Aku tersenyum miris, kilat mata kebencian ku layangkan kepada keluarga terkutuk itu.

Ku hapus air mataku yang menggenang menggunakan tanganku yang berlumuran darahku sendiri"Kau tahu Ayah? Aku bahkan tidak meminta untuk di lahirkan kedunia ini..."Lirihku putus asa, menahan rasa sakit yang kian menjerat tubuh lemahku.

Raut wajah Ayahku sempat melunak namun persekian detik raut wajah itu kembali datar, Aku sedikit menundukkan kepalaku dan tersenyum pahit, meresapi setiap rasa sakit yang kian menikamku, pandanganku mulai buram.

"Aku juga tidak menginginkan ibu untuk menyerahkan nyawanya demi diriku.."Aku mengehela nafas dalam dengan pandangan yang masih menunduk. Tuhan, mengapa hidupku begitu menyedihkan?

Aku menarik tanganku yang masih setia memegang anak panah itu, dan menengadahkan tangan. Menatap lamat lumuran darah itu, inikah akhirnya? Dirinya yang kalah?

"Disini sakit sekali"kuangkat kepalaku, kilat benci tak pernah lepas dari kelima orang itu, tangan kananku menunjuk dada kananku yang tidak terdapat anak panah.

"Rasa sakit ini bukan kemauanku, rasa ini nyata. Menyelimuti hatiku dan meremas jantungku, tubuhku sudah di grogoti habis akan rasa ini. Aku sangat membencimu...

Ayah...

...Dimasa depan jika aku di berikan kesempatan hidup, aku ingin menghilangkan rasa benci ini"kulihat tatapan terkejut serta wajah pucat Ayahku ketika aku menjatuhkan diriku kejurang setelah mengatakan kalimat terakhir itu.

Tidak ada lagi kesempatan, sebanyak apapun usaha yang kulakukan. Tetap saja, aku yang kalah. Aku menyerah, harapanku sudah pupus, nyatanya rasa benci itu lebih besar dari kasih sayangnya padaku.

Selamat tinggal.

🌺🌺🌺

Hai~ bagaimana ceritanya? Lanjut gak?

Nona BarbarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang