“Proklamasi... Kami Bangsa Indonesia... Dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia... Hal – hal yang mengenai perpindahan kekuasaan dan lain – lain. Dilaksanakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat – singkatnya... Jakarta, 17 Agustus 1945... Atas nama Bangsa Indonesia. Soekarno-Hatta...” Kalimat itu masih terngiang – ngiang dalam kepalaku. Saat itu rakyat di seluruh Indonesia sedang bersorak-sorai bergembira.
Pada tanggal yang sama, aku bertemu dengan Akang. Dagunya bersandar di atas radio Letron B-8 yang menjadi satu-satunya media yang bisa menghubungkan kami pada dunia luar. Saat itu di kampung, semenjak berita kekalahan Jepang oleh sekutu. Balai RT di Kampung menjadi ramai. Semua orang terlihat antusias mendengarkan berita apa saja yang ada di radio.
“MERDEKA!!!! MERDEKA!!! HORE KITA MERDEKA!!!” Satu kampung bersorak gembira. Semua orang berduyun – duyun ke rumah masing – masing untuk mengambil bendera merah putih jika ada. Sebagian menggunakan baju putih yang dicat merah setengahnya. Semua orang berlarian keluar rumah untuk mengibarkan warna merah-putih dengan bebas.
Kala itu aku melihatnya tersenyum dibawah kibaran sang saka. Di depan pijaran sinar matahari yang membentuk bingkai kuning di sekujur siluet tubuhnya. Senyum yang indah menghiasi wajahnya. Tiba – tiba dia menoleh ke arahku. Pipiku memanas. Mungkin wajahku sedang memerah.
“Perkenalkan, nama saya Agus...” Katanya sambil mengulurkan tangan.
“Hmmm...” Aku meraih uluran tangannya. “Saya Marriyem...”
Lalu kita berdua tersenyum.
“Saya baru melihat kamu disini. Baru pindahan?” Kataku.
“Iya, Mbak. Saya baru pindah kesini, tapi saya tinggal di rumah saudara.” Kata Agus. Saudara di tempatku berarti yang dimaksud adalah sepupu. Bukan saudara kandung.
“Iyakah, siapa saudaramu? Barangkali kenal.” Sebelum sempat menutup mulut, tiba-tiba Jaka sudah lari dari belakang Agus dan menepuk pundaknya.
“WOY! Merdeka, BOR! MERDEKA! Hahaha...” Teriaknya di dekat telinga Agus, yang segera menunjukkan ekspresi kaget dan tidak nyaman.”
“Nah, ini lho si Keparat baik hati.” Kata Agus. Jaka menoyor Agus, sedangkan aku hanya bisa terkejut mengetahui siapa saudara sepupu Jaka. “Ini saudaraku yang aku maksud.”
Kami bertiga berduyun – duyun mengikuti alunan musik sederhana dari sekelompok anak laki-laki yang berinisiatif membunyikan kentongan, kayu, dan panci sambil berpawai. Sungguh kreatif! Sedangkan anak – anak lainnya mengikuti mereka dari belakang sambil menepuk – nepukkan tangan dan bernyayi.
“Jadi kamu... Saudaranya Jaka?! Jaka itu temanku sedari kecil. Dunia ini sempit, ya?” Kataku.
Kami bertiga tertawa.
“Oiya, bagaimana pendapatmu Marriyem?” Kata Agus.
“Tentang apa?”
“Kemerdekaan ini...”
“Hmmm...” Aku bergeming sejenak.“Sebenarnya menurutku kemerdekaan hanya embel – embel.”
“Maksudmu?” Agus agak memicingkan mata.
“Iya, kemerdekaan yang sebenarnya adalah kemerdekaan dalam berpikir. Terbuka akan banyak hal, kebebasan berekspresi, meraih mimpi, mandiri.”
Langkah Agus agak melambat. Pupil matanya membesar karena dia merasa kagum denganku. “Pola pikirmu bagus.” Seketika aku merasa nyaman karena dihargai. Mungkinkah pikirannya sama denganku? Sepertinya iya.
“Terutama soal emansipasi...”
“Emansipasi itu hanya OMONG KOSONG!” Sahut Jaka.
“Diam kamu, Jaka!” Sahutku seketika.
“Memang apa yang kamu bisa lakukan untuk menghilangkan ini? Ini sudah hukum alam, Mar. Tidak mungkin diubah. Tugasnya wanita itu ya di dapur.” Kata Jaka.
Aku mengernyitkan dahi. Sikap Jaka memang selalu seperti ini. Meremehkan wanita dan menganggap enteng semua hal.“Emang kamu tau makna emansipasi?”
“Biar wedok bisa jadi bupati.” Jaka menyiyir.
“Sempit sekali.” Kali ini Agus yang menyahut.
“Lho kamu setuju sama dia, Gus. Parah kamu!”
“Emansipasi itu kesetaraan. Bukan hanya gender tapi juga kesetaraan status sosial. Untuk mendapatkan hak berpendidikan, berpikir, dan bermimpi yang sama. Gaada istilah laki – laki/perempuan, pribumi/non-pribumi, bangsawan atau bukan. Itu emansipasi.”
“Iya, kesetaraan.” Kata Agus.
“Memang apa yang sudah kamu lakukan, untuk ‘ideologi’mu itu?” Nada Jaka seperti meremehkan.
“Buta, kamu? Lihat anak – anak di perkampungan. Menurutmu saya mengumpulkan uang untuk mendirikan sekolah gratis sederhana bagi perempuan itu untuk apa?” Aku mengepalkan tanganku erat sambil meremas – remas ujung bajuku. Jaka memang orang yang sangat menyebalkan!
Jaka menatap mataku. Ia sudah siap menyerangku dengan meremehkan pola pikirku yang menginginkan kemajuan. “Karena kamu terlalu naif?” Jaka semakin membuatku kesal. Aku pun menundukkan kepala dan menarik napas panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen: Aku, Dia, dan Pahlawanku
Historical Fiction(Sebuah cerita pendek bertema feminisme yang berlatar belakang jaman perjuangan Indonesia) Ringkasan: "Sebenarnya karena prioritas... Angka buta huruf perempuan jauh lebih tinggi. Karena anak laki - laki diprioritaskan untuk sekolah. Anak perempuan...