Bel pulang sekolah sudah berbunyi tanda semua kegiatan di sekolah Bougenvile telah berakhir, sekarang hanyalah teriakan bocah smp yang gembira, ratusan siswa memenuhi pintu gerbang sekolah menanti jemputan maupun menunggu bus, lapak pedagang pribumi yang menjajakan jajanan enak nan murah ini sudah dipenuhi siswa yang ingin melepas dahaga maupun lapar, juga terlihat pasangan muda-mudi bergandengan tangan sambil bercerita ria, gerombolan geng picisan memenuhi jalan setapak menuju sungai untuk sekedar nongkrong dan mempererat solidaritas, tapi lain halnya dengan ku, aku masih khawatir apa yang terjadi dengan ibuku, aku langsung lari menuju anak tangga dan menuruninya satu per satu.
‘’aku harus cepat pulang, yah harus cepat pulang’’ kataku dengan cepat
‘’DORRR!!!’’ terdengar suara yang cukup keras dari balik dinding yang membatasi tangga lantai 4 dengan lantai 3
‘’ya tuhan...’’ kataku dengan kaget
‘’hahaha, mau kemana lu ki?’’ tanya Alvin bersama Agung, Ravie, dan Saman
‘’ah, lu ngagetin aja sih, gue lagi buru-buru nih elah’’ kata ku sedikit jengkel
‘’buru-buru? Wah gak solid lu ki, emang mau kemana sih?’’ tanya Agung
‘’gini loh, tadi gue ditelepon sama ibu gue, nah terus dia minta tolong sambil ketakutan sama dia juga menahan sakit’gitu’ kata ku dengan sedih teringat saat Ibuku menelpon
‘’hah? Lu gak becanda kan ki?’’
‘’masa gue becanda sih?! Ya nggak mungkin lah’’
‘’yaudah deh, kita semua ikut riski aja, siapa tau dia beneran’’ kata saman melerai
‘’yaudah...yuk!!’’
****
Aku melihat dari jauh banyaknya garis polisi, puluhan paparazzi, tetesan darah yang cukup banyak. Seketika kesunyian halaman rumahku lenyap, yang sekarang kurasa adalah keramaian kota yang sangat ku benci. Aku tersadar, apa yang terjadi saat ini? Apa?...polisi menghampiriku dan membawa adikku, Isabella.
‘’selamat siang tuan riski, kami dari kepolisian Ohio membawa berita buruk tentang orang tua anda.’’
‘’kabar buruk? Maksud kau? ’’ tanya ku kepada polisi ‘’Isabella, apa yang terjadi? Kenapa kau menangis? Siapa yang membuatmu seperti ini?’’
‘’mamah....papah kak, dia....’’ kata Isabella seperti ketakutan
‘’mereka kenapa bella? Kenapa pak?’’
‘’Tn. Calvin dan Ny. Jeny tewas’’
‘’apa? apa maksudmu? Kau jangan bergurau pak?!’’ kataku kaget
‘’maaf, tapi ini benar-benar terjadi, kau lihat sekitar banyak tetesan darah, dan mungkin itu adalah tetesan darah orang tuamu’’
‘’ini mustahil, tidak mungkin orang tuaku meninggal, ini pasti salah, pasti salah!!!!’’ aku teriak begitu kecewa, begitu marah, dan begitu sedih
‘’aku ingin melihatnya’’ akupun berlari menerobos garis kuning polisi dan segera masuk ke istana kecil ku, dan.....benar, mereka sudah...sudah terbujur kaku dan tak bernyawa sebuah peti mati mengalasi mayat mereka, peti yang ku benci, peti yang tak ingin kulihat, tapi kini berada tepat dihadapanku dengan ditindih orang yang paling ku sayangi, dan yang lebih mengenaskan tubuhnya hampir tak bisa dikenali, puluhan luka menjadi saksi biksu kesadisan sang pembunuh, satu buah cincin yang menghiasi jari manis mereka tersibak cucuran darah, ‘apakah ini hanya mimpi?’ inilah pikiranku saat itu, bukan, ini nyata, ini realita, ini bukan ilusi, bukan kebohongan, dan bukan sekedar mimpi. Aku tertegun, air mataku menetes deras membsahi wajah ku, kaki ku keram tak bergerak, jantungku terasa berhenti berdetak, yang kurasakan adalah kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan, siapa yang melakukan semua ini? Siapa...
‘’kak, mamah kak, dia tidur pulas dan tidak bangun kak’’ sebuah suara kecil tak berdosa berdengung ditelinga ku
‘’mereka sudah pergi bel’’ jawab ku sambil menangis
‘’tapi pergi kemana kak?’’
‘’mereka sudah pergi ke surga, mereka sudah tenang disana’’
****
Acara pemakaman mereka dimulai hari ini juga, dengan cuaca yang mendung dan berangin membuat suasana semakin haru, semakin sedih, dan semakin membuat ku marah, Siapa yang melakukan semua ini?...dua buah peti mati diawa oleh pihak polisi dan beberapa keluarga ku dari kota, diiringi lagu kematian, dengan panorama yang suram, mendung, penuh dengan warna hitam, pelayat pun berdatangan menyusul iring-iringan peti mati mereka, perjalanan yang cukup panjang, menelusuri hutan basah, melewati untaian jurang, menyebrangi jempatan topang akhirnya berakhir, sekarang Gapura bertuliskan ‘Welcome to KAMBODIA CEMETERY’ menyambut kedatangan rombongan kami, yap...walaupun gapura itu bertuliskan ‘selamat datang’ tapi aku tahu maksudnya adalah ucapan ‘selamat tinggal’. Walau begitu apa yang meski ku perbuat?....Tidak ada! Yang harus ku perbuat hanya berdoaa, berdoa pada-Nya agar Ibu dan Ayah tenang disana. Lagu kematian akhirnya berakhir, sekarang dua peti mati itu segera diturunkan, bunyi terompet dan clarinet dimulai, dengan perlahan tapi pasti, dua peti itu diturunkan secara bergantian, Peti Ibuku diturunkan duluan, dilanjutkan peti Ayah ku menyusul dan menindih peti Ibuku, mereka dikuburkan dalam satu liang, lalu tanah-tanah itu diturunkan menutupi dua pei mati suci itu, akhirnya....saat yang aku tidak nanti-nanti kan terjadi, benar....aku sudah ‘pasti’ kehilangan mereka, dan bukan ‘pasti’ saja, tapi sudah ‘nyata’ meraka sudah pergi selama-lamanya meninggalkan ku dan Isabella, sekarang tanah basah itu sudah ditutupi bunga kamboja, memancarkan aroma kematian, aku tak kuasa menahan smua ini, aku tidak sanggup hidup tanpa meraka, tapi ini sudah terjadi, aku hanya bisa ikut menaburkan bunga ke gundukan tanah tersebut, itulah sebagai tanda hormat terakhir kepada mereka, setelah pasti gundukan tanah itu tertutupi bunga, barulah sekarang pendeta memimpin pembacaan doa, disertai khutbah pendek dan singkat itu, semuanya menundukan kepala dengan khusyuk seraya berdoa. Akhirnya...pelayat-pelayat itu pergi dari hadapan ku, polisi, keluarga, dan teman pergi dari sini, aku ditemani Isabella, dan beberapa sahabat ku tetap berada disini. Walaupun aku tak sendiri disini, tapi aku merasa sendiri, bahkan merasa dirriku sudah lenyap, pikiran ku terbang entah kemana, aku memikirkan siapa yang membunuh mereka? Bagaimana aku membalasnya?.
‘’Riski, riski....’’ Anissa memangilku, tapi aku hanya terdiam, entah karena apa
‘’Riski, apa kau mau pulang?’’ suara yang mengeras terdengar, kali ini Agung yang memanggilku
‘’oh, eeee...kalian pulang duluan saja ya, terima kasih sudah ikut ke acara ini’’ jawab ku dengan rasa bingung
‘’Riski, kami semua ikut berduka cita, kami juga menyesal yang terjadi dengan mu.’’ Kata Ravie yang mewakili mereka semua
‘’oh, iya terima kasih banyak ya’’
Mereka perlahan meninggalkan ku, tapi aku tak memperdulkan mereka, aku harus berpikir bagaimana aku membalas semua ini? Lalu sebuah tombak melesat dari semak dan tepat jatuh di depan mataku, tepat sekali. Aku pun langsung berpikir, bahwa inilah yang membuat orang tua ku pergi, aku langsung mencabut tombak yang tertancap di tanah itu dan mematahkannya. Aku berdiri, memandang langit-langit, menanti sebuah reaksi, tapi tak ada satupun reaksi membalas, entah samurai, pedang, panah, ataupun tombak lagi. Seketika hujan pun datang, dan inikah yang disebut hujan kematian?...apakah ini tandanya mereka sudah sampai di pintu surga? Entahlah..ini membuat ku semakin kesal, dan..
‘’Siapa yang melakukan semua ini hah? Siapa?’’ aku berteriak keras, sangat keras diiringi tangisan. ‘’tunjukan dirimu pecundang! Aku tidak tahu siapa kau, dan aku tak takut dengan mu, ayolah keluar pecundang, jangan menjadi pengecut, The second of Judas! Ya kau seorang itu’’ aku berteriak semakin kencang, aku memaki dia semakin garang, aku menantangnya. ‘’cepatlah keluar, ayo! Aku akan bertarung dengan mu sekarang! Siapa kau...apa kau iblis? Kau Alien atau hanya manusia biasa? Siapaaaaaaa..!’’ omongan ku mulai melantur, hujan pun semakin deras, petir menyambut teriakan ku, suasana yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya aku segera mengambil patahan tombak tadi, dan menusukan ujung bambu yang tumbul ke pahaku, seketika paha ku berdarah, aku juga tak merasa sakit dan sekarang aku berniat bunuh diri, tapi...sahabat ku berlari dan menghampiriku, rupanya mereka tak benar-benar pergi, mereka hanya mengawasiku saja.
bersambung....
*please komentar ya!