Nak, bagaimana kabarmu saat mengeja huruf ini?
Apakah hurufnya masih bisa kau baca? Atau jangan-jangan, ada teknologi ataupun ilmu baru yang menemukan cara untuk membaca surat yang kubuat ini? Hahaha. Lucu sekali membayangkannya.Saat menulis ini, usiaku sama dengan angka dari abad di mana aku menghirup udara, 21. Berapa usiamu, nak? Apakah kamu berhasil membaca ini setelah puluhan tahun menerjemahkan tulisan ini ke dalam bahasa yang dipakai oleh generasimu?
Yah, aku pun tak perlu peduli tentang itu. Setua apapun, kamu tetaplah seorang anak. Oh, bukan karena kamu sedang membaca surat dari masa lalu ini---yang mungkin saja kamu perlu susah payah menggali dan menerjemahkannya. Bukan. Melainkan, karena tidak ada orang tua yang tidak pernah menjadi anak. Apapun itu. Aku tidak akan memaksamu percaya dengan pesan nenek moyangmu. Kau bahkan boleh menertawakannya kalau memang perbedaan zaman telah bicara.
Oh iya, saat menulis ini, aku sedang berada di wilayah yang sedang mengalami lockdown. Nak, aku tidak tahu dalam kondisi apa kamu membacanya. Tapi kalau manusia di generasimu sudah terbiasa untuk hidup menyendiri, barangkali itu semua dimulai dari pengalaman ini.
Selama diriku beranjak dewasa, aku tumbuh di lingkungan di mana manusia diajarkan untuk hidup dengan manusia lain. Mereka juga memiliki interaksi yang memungkinkan adanya kontak fisik dengan sesama. Kadangkala, semakin sering kontak fisik itu terjadi, dinilai semakin akrab.
Sayangnya, semua itu berubah saat suatu wabah merombak narasi dunia. Ceritanya tentu akan menjadi semakin panjang, nak. Dan kami yang hidup saat ini pun serba kebingungan. Yang lama tak terpakai, yang baru belum memadai. Menyedihkan, bukan?Jadi, bagaimana kabarmu, nak? Apakah kamu sudah makan? Apakah kamu sudah menikmati sinar matahari?
Ceritakan apapun yang kamu alami, nak.
Walaupun aku tak yakin pula, apakah surat ini bisa dibaca olehmu.
Akan lebih buruk bila tak kutuliskan apapun, bukan? Meski nasihat dariku bukanlah suatu kebijaksanaan yang berhasil mengubah dunia pada generasimu, akan menyenangkan jika nasib tulisan ini sama seperti prasasti yang pernah kulihat di buku-buku pelajaran sejarah. Oh iya, aku pun berharap semoga internet tidak mengalami hal yang sama seperti perpustakaan Alexandria..Sampaikan salamku untuk generasimu!
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat untuk Masa Depan
RandomUntukmu, yang membaca ini 21 abad lagi. Dari nenek moyangmu yang kebingungan dengan kehidupannya sendiri saat abad 21. Mari bertanya.