09. COFFEE.LICIOUS (Chicklit)

86 8 0
                                    

"Terima kasih, Kak. Mampir lagi ke Coffee.licious, ya."

Setengah membungkuk, kuberikan senyum paling manis pada dua orang lelaki di depan sebelum mereka berlalu. Namun, setelah lonceng di atas pintu berdenting, yang menandakan kepergiannya, senyumku hilang.

Sebagai pemilik Coffee.licious, sebuah kafe kecil di bilangan Kemang-Jakarta Selatan, aku bertugas sebagai kasir. Bukannya tidak percaya pada karyawan, tapi bertindak sebagai akunting dan purchasing sekaligus, adalah salah satu caraku menghemat biaya operasional.

Lagipula, dua orang karyawan yang kupekerjakan sepertinya tidak menganggapku superior mereka. Laura Himawan, seorang waitress, lebih muda setahun dariku. Sementara, Leonhart Wijaya, barista kafe, lebih tua dua tahun. Sikap non-formal yang ditunjukkan mereka, mungkin karena selisih usia yang tidak jauh dari umurku, yaitu dua puluh lima tahun.

Kata orang, usia ini adalah umur keemasan seorang wanita. Nyatanya, menyentuh bilangan seperempat abad, yang kurasakan adalah keterpurukan. Pasalnya hubungan asmara yang kubina selama lima tahun dengan Max, baru kandas dua minggu lalu.

Penyebabnya adalah Leonhart, barista yang sudah dua tahun bekerja di kafe. Max bahkan menuduh barista itu memiliki hati padaku, yang mana sangat konyol. Karena itu, aku membela Leonhart setiap kali dia menyindirnya.

Sifat protektifku agaknya mengganggu Max dan voila! Kami putuskan berpisah. Jadilah sekarang aku JoNes (Jomlo Ngenes).

Mengembuskan napas panjang, aku duduk di balik meja kasir sambil menopang dagu. Pikiranku kembali mengenang saat-saat bersama Max. Sedih, sih, enggak ... cuma sering bengong saja. Apalagi suara Glenn Fredly yang diputar di latar belakang benar-benar mendukung suasana hatiku yang melo(mpong).

"Oi, Laura, apa zodiakmu?" tanya Leonhart memecah lamunan.

Suaranya yang tebal membuatku menoleh ke bagian belakang counter. Duduk di atas booth kayu panjang untuk tiga orang, tangan Leonhart memegang sebuah majalah. Melihatnya sekarang, aku jadi mengerti mengapa Max cemburu.

Walaupun Max tampan, harus kuakui Leonhart juga tidak kalah ganteng. Hanya mengenakan kaos polos putih dan baby blue jeans sobek saja, lelaki itu sudah tampak macho. Rambutnya yang gondrong sebahu, dikucir setengah.

Pertanyaan Leonhart diabaikan Laura yang sedang asik merekam aksi tiktok di ponselnya, tanpa peduli keberadaan pengunjung kafe. Seringaiku terbentuk melihat Leonhart menepuk keningnya.

Sekali lagi, dia memanggil, "Oi-"

"Iya, sudah kelar. Sebentar, aku posting dulu. Sabar, ya ...," sahut Laura dengan nada jengkel. "Nah, selesai!" Saat mengatakan itu, Laura berbalik menatap Leonhart. "Aku Gemini, kenapa memangnya?"

"Emh ... pantesan, GEnit dan doyan yang MINI-mini." Lelaki itu kemudian tertawa.

Canda Leonhart, mau tidak mau membuatku memperhatikan Laura. Aku mengernyit, menyadari rok seragam kafe yang seharusnya berada pas di lutut, pada Laura rok itu lebih tinggi dua puluh senti, memamerkan kaki Flaminggo-nya yang jenjang.

"Tapi, suka, 'kan? Hayo, ngaku! Memang zodiakmu apa?" Laura ganti bertanya sambil bergerak mendekat. Tubuh rampingnya menyelinap masuk ke counter dan duduk di samping Leonhart. "Sini, biar aku yang baca."

"Eh, main rebut aja!" hardik Leonhart, tapi terlambat. Majalah metropolitan itu sudah berpindah tangan. Tatapan tajam Laura membuat Leonhart bersidekap. "Sudah jelas 'kan dari namaku, Leo."

"Mmm ... mmm ... mmm ...," gumam Laura. Seringai penuh arti yang dilemparkan ke arah Leonhart membuatku penasaran.

"Bacain, dong," pintaku, dari posisi kasir di ujung counter. Laura melirik sekilas, tapi tidak merespon. "Kalau enggak mau bacain, ya, sudah. Biar aku baca sendiri."

SHORT STORY - A COLLECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang