1| Cinta itu bullshit

23 9 11
                                    

"Hiks! Hiks!" 

Ziya menangis tersedu-sedu usai meneritakan apa yang ia alami siang tadi kepada sahabatnya. Atiya menepuk-nepuk pundak Ziya, berharap tangis gadis itu mereda. Sesekali ia memberikan selembar tisu pada Ziya untuk menyeka air matanya.

"Kan gue udah bilang, jangan percaya sama cowok. Harus berapa kali sih gue peringatin lo soal ginian," omel Atiya.

"Ya, lo gak ngerti." Ziya berusaha membantah omelan sahabatnya, meski suaranya kini terdengar parau. "Gue cinta sama dia. Gue sayang sama dia. Gue percaya sama dia."

Atiya mendengus kesal. Bukan karena pria brengsek yang membuat Ziya menangis, tapi kesal pada kebodohan Ziya yang terlalu gampang jatuh cinta pada seseorang. Entah sudah berapa lai-laki yang membuatnya berakhir terluka seperti ini, tapi Ziya tetap tak peduli dan menjunjung tinggi yang namanya cinta.

"Se-sayang-sayangnya lo sama dia, tetap aja dia ninggalin lo," gumamnya.

"Lo gak ngerti rasanya jatuh cinta, karena lo gak pernah ngalamin itu. Gak semua cowok sebusuk yang lo kira," teriak Ziya.

Kening Atiya berkerut. Ia memperbaiki posisi kacamata hitam yang bertengger di hidungnya, kemudian berdiri dan menatap Ziya tajam. Ziya balas menatap Atiya tajam.

"Semua cowok itu brengsek. Gue gak perlu ngalamin yang namanya jatuh cinta buat tau seberapa brengseknya cowok. Dengan ngeliat lo yang selalu aja nangis tiap kali diputusin kayak gini, itu udah cukup ngebuktiin segalanya."

Atiya melempar kotak tisu yang sedari tadi di pegangnya ke tanah. Ia berbalik, kemudian meninggalkan sahabatnya sendirian di bangku taman. Tak peduli pada tiap pasang mata yang menatap mereka kebingungan. Ada yang berbisik, tapi tidak sedikit pula yang memilih untuk bersikap tak peduli.

***

Keesokan harinya di SMA Angkasa. Atiya yang terkenal sebagai murid teladan dan tidak suka mencari keributan terlihat menampar Zidan di tengah lapangan. Semua murid yang melihat kejadian langka itu, sontak berkumpul di sekitar lapangan.

Zidan memegangi pipinya dan menatap Atiya kesal. Ia membuang bola basket yang sedari tadi ia pegang, kemudian menarik kerah baju Atiya kasar. Gadis itu terlihat berusaha melepas tangan Zidan, tapi Zidan malah semakin memperkuat cengkramannya.

"MAKSUD LO APA NAMPAR GUE, HAH?" teriakan Zidan terdengar menggelegar.

Setiap orang yang mendengarnya langsung menahan napas, karena ketakutan. Jantung para penonton berdetak kencang. Mereka memasang telinga baik-baik, penasaran dengan jawaban seperti apa yang akan diberikan oleh Atiya.

"Sebagai cowok harusnya lo ngaca. Ziya itu terlalu baik buat lo."

"Apa?"

Zidan melepas cengkramannya pada kerah Atiya. Kini ia mengusap kepalanya, kemudian tersenyum sinis ke arah Atiya.

"Hoohh. Jadi, ini karena cewek sialan itu?" tebaknya.

Tangan Atiya mengepa kuat. Wajahnya terlihat memerah, karena menahan amarah. Napasnya terdengar menderu. Ia menatap pria dihadapannya geram. Zidan hanya terkekeh melihat ekspresi marah Atiya. Namun, sedetik setelahnya Atiya malah tersenyum. Ia maju beberapa langkah, kemudian berjinjit untuk mensejajarkan tingginya dengan Zidan.

"Zidan, gue tau lo bego, tapi gue baru nyadar kalau ternyata lo sebego ini. Lo udah bikin sahabat gue nangis. Jadi, lo harus dapat hukuman," bisik Atiya tepat di telinga Zidan.

Plaakkkk!

Zidan  yang tersulut amarah, menampar Atiya kuat sampai membuat kacamata gadis itu terlempar beberapa meter darinya. Atiya terjatuh. Ia memegangi pipinya yang memerah. Kini Atiya berpikir, jika semua pria ringan tangan seperti Zidan akan sesengsara apa kaum wanita nantinya?!

Zidan menginjak kacamata Atiya, ketika melihat gadis itu sibuk mencari keberadaan kacamatanya. Raut kebingungan Atiya seketika berubah saat mendengar suara benda retak tak jauh dari tempatnya duduk. Ia yakin, itu pasti kacamatanya.

Atiya bangkit dan mengatai Zidan sebagai sampah masyarakat yang tak sepatutnya ada di dunia. Zidan yang tak terima disebut demikian, bersiap menampar Atiya sekali lagi. Namun, seseorang keluar dari kerumunan dan menahan lengan pria itu. Meski samar, Atiya dapat melihat bahwa sosok yang berdiri dihadapannya adalah seorang pria.

"Ada apa ini?" teriak pak Syarif begitu berada di tengah kerumunan. Ia menatap bingung pada tiga muridnya yang jadi bahan tontonan murid lain. "Kalian bertiga, ikut saya," tegasnya. "Yang lain bubar! Bel udah bunyi dari tadi, bukannya masuk kelas malah ngumpul disini."

***

Besambung...

Tenggelam Dalam KepercayaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang