BURANGRANG

269 18 5
                                    


Demam yang dia rasakan akhir-akhir ini sangatlah menyiksa. Ditambah hawa dingin yang diberikan utara Kota Bandung. Apalagi, pengalamannya ini dialami ketika situasi Bandung masih belum seperti sekarang ini. Sore hari pun, hawa dingin itu sudah mengelus lembut kulit leher tanpa ampun.

Kisah ini dialami oleh seseorang bernama Aji—Siswa SMK berkebangsaan USA (Urang Sunda Asli). Dia mengalami hal yang sama sekali tidak akan pernah dilupakan seumur hidupnya, sekaligus yang pertama kalinya.

Tahun 2008 adalah rekam jejak kisah ini terjadi. Saat itu, Aji baru saja masuk menjadi seorang siswa di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan di utara Kota Bandung.

Seperti anak-anak kebanyakan di kampungnya, Aji pun menjadi seorang santri di madrasah dekat rumahnya. Sekadar belajar mengaji dan mempelajari hukum-hukum dasar dalam islam, supaya nilai-nilai luhur agama dapat terpatri dalam hatinya.

"Camping di Burangrang, yuk?" ajak Mang Ujang—salah satu guru mengaji Aji.

"Siapa aja, Mang?" tanya Aji.

"bebas, ajak aja yang lain." Ujarnya seraya membenarkan pecinya yang semula miring.

Keakraban Mang Ujang dengan para santrinya terjalin sangat baik. Bahkan Aji bilang, Mang Ujang itu layaknya air. Bisa menyesuaikan diri di setiap wadah tempat ia menampungnya. Di luar kegiatan belajar mengajar tentang keagamaan, Mang Ujang adalah seorang teman.

Kondisi alam Gunung Burangrang dan lingkungan sekitarnya ketika itu tidak seramai sekarang. Masih banyak tempat-tempat yang terkesan angker meskipun di siang hari. dan sudah barang tentu, kegiatan-kegiatan alam di Gunung pun tidak seramai sekarang. Dahulu, hanya yang benar-benar pecinta alamlah yang melakukan kegiatan di alam liar. Berbanding terbalik dengan keadaan sekarang, kebutuhan selfie di akun-akun sosial media menjadi alasan utamanya. Tidak peduli dia mencintai alamnya atau tidak.

Singkat cerita, Aji mengajak ke empat temannya yang lain untuk mengikuti kegiatan itu. Sehingga total orang yang berpartisipasi menjadi enam orang.

Di bawah komando Mang Ujang, semua berangkat dengan berjalan kaki dari terminal Parompong menuju kaki gunung Burangrang. Kurang lebih tiga jam waktu yang diperlukan mereka untuk sampai di kaki gunung.

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, suasana disana belum seperti saat ini. Bahkan, Aji mengaku pernah menemukan ular yang lewat begitu saja di perjalanan ia kesana. Bisa dibayangkan betapa eksotisnya alam Bandung ketika itu.

"Mau bikin tenda dimana, nih?" tanya salah seorang teman Aji.

"di puncak kayaknya enak." Sahut Aji.

"kita bikin tenda di kaki gunung aja yang gak jauh sama curug, jadi kita gak akan kesusahan air." Jawab Mang Ujang.

Aji dan kawan-kawan dituntun oleh Mang Ujang menelusuri hutan belantara. Suara khas dari Tonggeret, menemani setiap langkah. Khasnya hutan, memang. Ketika udara saling bersahutan dengan suara Tonggeret yang seolah menjadi sabda alam: bahwa keindahan bukan hanya bersumber dari sesuatu yang enak dipandang, namun juga enak didengar.

Sampailah mereka di suatu tempat yang begitu asing bagi Aji. Dia sama sekali tidak pernah berada disana, apalagi berkemah di area yang bisa dikatakan masih hutan belantara. Tidak seperti area camping yang pernah Aji kunjungi sebelumnya, yang mengharuskan membayar biaya sewa lahan per malamnya.

"tenang, Mamang udah sering camping disini." Ucap Mang Ujang.

Untuk lebih meyakinkan, Mang Ujang menunjuk beberapa titik yang dianggap penting untuk menunjang kegiatan perkemahan.

Mang Ujang membagi tiga kelompok. Dua orang mencari ranting untuk nantinya dipakai api unggun, dua orang ditugaskan untuk mengambil air, sementara dua orang lainnya ditugaskan untuk mendirikan tenda.

KAMI ADA: BERDAMPINGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang