Malam, Hujan, dan Kenangan

10 6 2
                                    

Malam berlalu begitu saja, tak ada sesuatu yang istimewa. Aku tertidur dengan pikiran tentang pernikahan Kak Irba dengan Dinda.

Paginya aku bangun terlambat, sekitar pukul 7. Aku bergegas bangkit dari tempat tidur dan mandi. Setelah selesai mandi dan menyiapkan keperluan kuliah, aku menuju ke meja makan dan mengambil roti tawar yang telah aku balut dengan selai cokelat untuk aku makan di kampus.

Aku menuju ke garasi untuk mengambil sepeda. Namun, langkahku terhenti di depan pintu rumah ketika mendapati sosok lelaki yang berada di depan gerbang. Bukan Kak Irba, dia Kak Tama. Aku langsung menghampirinya untuk menanyakan keperluannya.

“Di sini ngapain?” Tanyaku dari balik gerbang.

“Nunggu kamu.”

“Hah?”

“Ayo, naik. Aku antar. Sudah terlambat ‘kan?”
Aku melihat arloji di tangan kiriku yang menunjukkan pukul 07.18. Tanpa berpikir panjang, aku langsung naik ke atas motornya setelah menutup kembali gerbang.

Aku membuka tempat bekal yang berisi roti dengan selai cokelat. Aku memakannya di perjalanan. Aku tahu bahwa makan di perjalanan bukanlah suatu sikap yang baik. Namun, aku harus mengisi perutku meski sedikit.

“Kamu belum sarapan?” Tanyanya.

“Apa?” Aku balik bertanya karena tak mendengarnya.

“Belum sarapan.”

“Siapa? Aku? Kakak tanya atau memberi tahu?”

“Tanya. Kamu belum sarapan?” Dia membuka kaca helmnya.

“Ini sarapan.” Aku memperlihatkan tempat rotiku, meski mungkin dia tak memperhatikannya karena sibuk mengendarai motor di tengah padatnya kota.

“Setiap hari cuma sarapan roti?”

“Iya.”

Dia kembali menutup kaca helmnya dan fokus memboncengku hingga kampus.

15 menit perjalanan hingga tiba di depan kampus. Aku langsung turun, melepas helm, dan mengucapkan terima kasih sambil memberikan helm kepada Kak Tama. Aku tak mendengar Kak Tama menjawab ucapan terima kasihku. Aku langsung bergegas menuju ke kelas. Aku menuju ke kursi depan sebelah Aya, sahabatku di Fakultas Hukum.

“Dosennya belum masuk?”

“Belum. Terlambat 30 menit katanya.” Jawab Aya yang sibuk memainkan handphone.

“Huhm, aku kira telat.” Aku mengatur napas.

“Sorry ya.” Ucap Aya lirih.

“Kenapa?”

“Nggak bisa antar jemput kamu. Karena beda arah." Aku hanya tersenyum dan langsung memeluk Aya.

“Hmm… Santai aja.”

“Eh, tapi ada yang aneh.” Aya melepas pelukanku.

“Apa yang aneh?” Aku mengerutkan kening.

“Kamu lagi bahagia ya?”

“Biasa aja.” Aku tersenyum.

“Masa’?” Aya menatapku dengan penuh curiga.

“Iya. Apaan sih.”

“Lho, kenapa kamu jadi salah tingkah sendiri?”

“Nggak, biasa aja.”

“Ya sudah lah kalau nggak mau cerita.” Aya memasang wajah cemberut. Aku hanya membalas dengan senyum. Aya paham dengan sikapku. Bukan tipe manusia yang terbuka, bahkan sekalipun sudah kenal lama.

AFFOGATOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang