"Arthit, luka mana?" Yuka, sang wanita cantik berambut panjang yang baru saja tiba di RS dengan napas terengah-engah itu dengan segera menghampiri arthit yang tengah terduduk di kursi salah satu ruang tunggu, sementara kedua matanya nampak berusaha menemukan sosok yang lainnya.
"Luka di dalem, lo udah dateng--gue tinggal ya. Nanti malem gue dateng lagi" arthit lekas berpamitan karena sesungguhnya masih terdapat begitu banyak hal yang harus ia lakukan hari itu.
Yuka mengangguk mengerti, tak lupa menyelipkan ucapan terima kasihnya pada laki-laki itu. Berikutnya dengan segenap hati yang telah ia persiapkan sebelumnya, yuka putuskan untuk melangkah masuk menemui keduanya di dalam ruang itu, luka yang hatinya tengah patah dan sang kekasih yang masih terbaring tak sadarkan diri.
"ka.." yuka nyaris berbisik, entah kenapa kala itu sang wanita nampak seakan kehabisan seluruh katanya begitu ia harus menyaksikan bagaimana rapuh luka terlihat kala itu, jemarinya yang tengah berusaha meraih bahu luka kini seperti bergetar hebat, namun ia hanya harus terus berusaha untuk tidak memperlihatkannya, "lo gapapa kan?" Ia bertanya lagi, walau sesungguhnya ia tau benar jawaban atas pertanyaan bodoh itu.
Luka tidak menjawab, pandangannya hanya tertuju pada sosok maris yang masih terbaring di atas ranjang dengan berbagai macam alat medis disekitarnya melalui sebuah bilik kaca yang membuat keberadaan maris terasa semakin sulit digapai walau hanya tersisa beberapa langkah jarak diantara mereka.
"Lo pasti mikir kalo gue orang tergoblok yang pernah lo kenal, iya kan?" Luka tiba-tiba saja berbicara, dan sontak kedua mata yuka menatap kesekeliling tempat itu, berusaha memastikan jika keduanya dapat benar-benar melanjutkan perbincangan itu--di tempat ini.
"Lo pasti capek. Gue temenin lo ngobrol di luar, biarin maris istirahat" yuka memutuskan, kedua tangannya kini dengan segera meraih lengan luka dan berupaya menuntun laki-laki yang masih nampak enggan itu menuju ke luar ruangan, melewati beberapa petugas yang sejak tadi sesekali kerap memperhatikan keduanya dari kejauhan.
"Janji sama gue ca"
"Apaan?" Yuka melirik luka yang kini sudah terduduk tepat di sebelahnya, kepalanya masih merunduk menghadap permukaan lantai, sementara rambut pirang panjangnya yang terikat kebelakang sudah tak lagi nampak aesthetic seperti biasanya.
Untuk pertama kali sejak ia dan luka terlahir sebagai saudara kembar, hari ini mungkin adalah satu-satunya hari dimana luka pada akhirnya nampak seperti manusia biasa, meneteskan air mata, mengumpat, dan bahkan terlihat cukup putus asa hingga kalimat itu pada akhirnya terucap.
"Lo gila?!" Yuka menatap saudara laki-lakinya itu marah, ia bahkan nyaris bangkit dari posisinya, hendak menghajar wajah tampan luka kala itu dengan kepalan tangan , "Gue serius ca--kalo sampe maris kenapa-kenapa karena hal ini, lo tabrak gue ya?--pake mobil gue aja jangan pake mobil lo--sayang"
"Bangsat lo emang! lo kalo mau masuk neraka gausah ngajak2 gue lah! Sumpah, kaya orang tolol gue ngajakin lo ngobrol sekarang--lo kira maris bakal happy denger omongan lo sekarang?" Yuka meledak, ia tau benar kala itu luka tengah berduka namun ia sama sekali tidak menyangka jika kondisi itu dapat menggiring laki-laki itu menjadi tak berotak juga seperti ini.
Luka masih tidak mengangkat kepalanya, namun berikutnya suara tawa kecilnya terdengar pahit, "lo gaakan ngerti ca.." ungkapnya terdengar seperti nyaris berbisik, dan berikutnya seketika keheningan seakan menyelimuti keduanya. Selama beberapa detik, baik luka maupun yuka tak satupun dari keduanya hendak berkata-kata hingga kemudian luka seakan tersadar jika ia tak seharusnya mengatakan hal semacam itu pada seorang yuka entah dalam keadaan apapun.
"Sorry ca" luka yang sepertinya mulai kembali mendapatkan akalnya, berusaha memecah keheningan, salah satu tangannya berkali-kali nampak menyibak rambut panjangnya ke belakang dengan gusar, "Ca--"
"Udahlah. Gue ngerti lo lagi berduka--its okay" yuka memotong kalimat luka cepat, dan kini akhirnya ia benar-benar bangkit dari posisi duduk seraya berusaha menahan segala emosi yang tengah ia rasakan, "gue cariin lo makanan dulu ya di bawah, lo pasti belom makan apa-apa kan?" Tambahnya lagi yang tanpa berniat mendengar hal macam apapun keluar dari mulut luka, yuka dengan segera melangkah pergi meninggalkan sosok luka yang masih hanya menatap kepergiannya dari kejauhan dengan sedih.
"Goblok yuka! Baper banget si lo jadi orang!" Maki yuka pada dirinya sendiri, dan kini langkah wanita itu seketika terhenti dan tanpa ia bisa menahannya lagi, tangis yang sejak awal kedatangannya tadi telah ia berusaha kendalikan untuk tidak pecah pada akhirnya berhasil mendominasi.
Wanita itu kini terisak, dalam diam dan keheningan lobby rumah sakit yang sore itu nampak mulai menyepi. Tubuhnya kembali bergetar hebat, seakan ia tak lagi mampu menahan perih tatkala kedua matanya harus menyaksikan kejadian yang sebelumnya tak pernah ia harapkan terulang untuk kedua kalinya, bahkan walau kepada luka sekalipun.
"Do!! Bangun do!!!! Doo!! Aldoo!! Bangun aldoo!! Aldo--bangun!! Jangan tinggalin gue, Do! Pleaseee, Aldoo!!!!!!!"
Perasaan serta rasa takut itu kini seakan kembali.