♡ Nol

394 67 23
                                    


Aku memerhatikan sosok pamanku yang masih sibuk memeriksa beberapa dokumen pekerjaannya. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 8 malam, aku sebetulnya bisa tidur duluan atau sekedar pura-pura tidur untuk menarik perhatian pamanku yang begitu dingin bahkan kepadaku sendiri.

"Levi-san, " panggilku pelan. Pria bertubuh atletis dengan tatapan tajam dan rambut hitam berkilau itu menoleh, menatapku penuh tanya.

"Besok aku akan dipindahkan." Aku menunduk sambil meremas jemariku dengan gugup. Padahal kami setiap hari bertemu, namun entah kenapa aku tidak pernah terbiasa dengan tatapan tajamnya yang membuatku merasa ditelanjangi. Dan entah kenapa pula di mataku dia terlihat kian tampan setiap harinya.

"Dipindahkan? Lagi?" Tanyanya dengan suara yang terdengar serak. Aku mengangguk dan semakin menunduk ketika mendengar bunyi gesekan kertas saling beradu dengan kasar.

Sepertinya dia marah. "Mikasa, kau tahu ini sudah keberapa kalinya?" Tanyanya menarik daguku hingga kepalaku mendongak menatap wajahnya yang tampan. Tatapan matanya terhunus begitu dalam membuatku hampir terlena dan lemas kalau saja aku tidak menyadarkan diriku.

"Tiga kali," balasku mencicit. Aku mengalihkan pandangan ke arah lain yang seketika mendatangkan cengkraman kasar di kedua sisi rahangku.

"Setelah ini jika kau masih berulah, kau siap-siap menerima hukuman dariku. "

Paman melepaskan cengkeramannya lalu menunjuk pintu keluar ruangannya. Aku langsung berlari terbirit-birit karena khawatir dengan emosinya yang memang agak buruk belakangan. Bisa-bisa aku terdepak karena ulahku sendiri nanti.

***

Pagi itu saat aku bersiap-siap hendak ke ruang makan, aku mendengar suara paman yang sangat marah dari kamarnya. Pintu kamarnya yang tidak tertutup dengan sempurna membuatku bisa melihat sedikit posisinya yang membelakangi pintu dan tengah menelepon.

"...Aku tidak ingin menikah Mom."

Aku terdiam mendengar bantahan dari paman yang sepertinya sedang menelpon dengan Kuchel Ackerman, ibunya yang terkenal tukang atur itu.

"Kenapa aku harus menikah jika bisa sendiri?"

Benar paman. Kamu tidak seharusnya menikah. Aku membenarkannya dalam benakku. Jika paman menikah habis sudah kesempatanku menyukainya. Karena ketika dia menikah, aku pasti akan disuruh tinggal dengan Kenny Ackerman. Kakek tua yang merupakan pamannya Paman Levi. Dia sangat tegas dan keras.

Membayangkannya saja sudah menyebalkan.

"Baiklah, aku akan mencari wanita untuk kencan. Tapi jangan memaksaku menikah secepatnya."

Aku buru-buru berjalan ke arah meja makan ketika mendengar paman mematikan telpon. Ah bisa gawat jika dia tahu aku menguping.

Dan apa katanya? Dia akan berkencan? Sepertinya ini tak bisa dibiarkan, aku harus mencari cara agar paman gagal melakukannya.

"Apa yang kau lakukan? Jangan melamun dan sarapan lah." Aku terperanjat ketika merasakan elusan di kepalaku yang tentu saja pelakunya adalah paman.

"Baik."

"Ke depannya aku akan mengantar jemput kamu di sekolah."

Aku mengangguk sembari menahan senyum. Akhirnya aku punya kesempatan lebih banyak bersama paman. Tidak kusangkal kalau dia sangatlah sibuk karena bekerja di perusahaan Kuchel. Jadi kami hanya bertemu pagi dan malam. Itupun jarang sekali karena dia sering terlambat pulang atau pergi lebih pagi.

"Mikasa," panggilnya sembari menatapku.

"Hm?"

"Bagaimana menurutmu jika paman berkencan?"

***

Hai yoo...  Apa kabar semuanyaa?
Souka back with new story.
Gimana-gimana?? Tertarik untuk baca lebih lanjut?

Koment dong sebanyak-banyaknya biar Souka cepat update, wkwkwk..

Btw doain Souka cepat sembuh ya 😔 lagi sibuk malah sakit begini. Apalagi ini bulan puasa..

Levi-SanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang