Pertemuan Ketiga

193 28 26
                                    

Ketika aku telah melepasnya dengan ikhlas, takdir justru menggiringku kembali padanya.


Pertemuan ketiga. Penulis itu mulai mendominasi dalam pengaturan tempat. Dia bilang sedang menikmati momiji-gari di Taman Shinjuku Gyoen. Karena malas mengirimkan pesan suara seperti kemarin, akhirnya aku menurut untuk menemui penulis tersebut.

Akhir November, Shinjuku Gyoen agak ramai, apalagi ini pukul empat sore. Banyaknya orang yang turut bersantai di tempat tersebut membuat aku cukup kesulitan menemukan Ratifa. Seharusnya, dengan pakainnya yang serba tertutup akan membantu, tapi ternyata tidak juga. Terlebih, dia enggan memberi tahu di bangku yang mana dia duduk, terpaksa aku menyusuri dari selatan hingga utara, dan dia berada di utara.

Kutemukan dia dalam posisi aneh. Seharusnya bangku kayu itu digunakan untuk duduk, tetapi Ratifa justru duduk lesehan di atas dedaunan kering, sementara bangku taman dia gunakan sebagai meja laptop.

Tanpa menyapa, aku langsung duduk di sisi  lain bangku, dia menoleh, “sebentar,” katanya sambil mematikan laptop, lalu bangkit dan sekarang kami duduk bersebelahan.

“Bukankah lebih nyaman mengetik di kafe dengan ditemani secangkir kopi?” Itu adalah kalimat pembuka yang kemudian membuat aku mendengar kekehan kecil Ratifa.

“Saya lebih suka udara dan suasana di sini. Ah ya, saya tidak suka kopi. Teh dengan 3 sendok makan gula sepertinya lebih enak.”

Aku tertawa mendengar ledekannya. Sejenak kemudian kami hanya mendengar desau angin dan suara dari obrolan orang-orang sekitar. Hingga Ratifa membuka kembali percakapan, “Waktu cepat berlalu ya. Sekarang sudah 2024 saja, putri Anda sudah 6 tahun, dan …  tahun ajaran baru nanti dia akan masuk sekolah.”

Aku menoleh, lawan biacaraku tengah menatap ke atas, memperhatikan momiji yang baru saja meninggalkan ranting. Jarak duduk kami cukup untuk diisi oleh satu orang lagi, dia duduk di ujung kanan dan aku di ujung kiri.

“Bagian paling sulit dari mencintai bukanlah berjuang, tetapi menyerah dan melupakan.” Dia seakan tengah berpuisi. Tak sampai dua detik, dia tiba-tiba menoleh, tetapi tidak benar-benar bertemu pandang denganku. Penulis itu bertanya, “Bukankah Anda yang mengatakan demikian? Lalu kenapa Anda menikah dengan Alana? Semudah itu menyerah? Atau memang Anda … ah, saya hanya tidak sampai hati melihat Kejora berjuang sendirian untuk Bintang, juga melihat Bintang harus tumbuh tanpa ayah, padahal ayahnya baik-baik saja di sini.”

“Hee, tau apa Anda tentang aku? Jangan asal biacara.” Aku tidak mengatakan itu dengan suara keras, hanya sedikit kesal. Lalu, Ratifa langsung memohon maaf karena sudah lancang. Dan entah dari mana asalnya, cerita bermuara pada Ratifa yang menceritakan tentang Kejora, dia bilang Kejora tidak pernah datang ke makamku karena yakin aku masih hidup, dia bilang Kejora selalu mengatakan pada Bintang kalau ayahnya pasti akan kembali.

Aku tersentuh, tentu saja. Andai bisa, mungkin selepas menamatkan novel Ilalang kemarin, aku akan langsung memesan tiket penerbangan ke Indonesia, mendekap anak dan istriku, mengunjungi orang tua serta kerabat. Namun … sayangnya semua tak semudah itu.

***

Rumah Sakit Shifa, 2018

Hampir tiap pagi kakiku selalu singgah ke tenda panjang yang berada di halaman depan Rumah Sakit Shifa, lama aku membeku, mentap tiga bangkai ambulans, bekas pecahan bom, mortar yang tidak meledak, beberapa pajangan potret lokasi yang telah terkena bom, juga jas petugas medis yang terluka, seolah menjadi pengingat untuk kami semua, bahwa serangan kepada pekerja kemanusiaan selalu bisa terjadi di Gaza.

Namun, yang mengejutkan pagi itu adalah kehadiran seseorang.

“Pagi, Dokter Ilalang.”

Mataku membulat ketika menangkap wajah cerah Alana. Bagaimana dia bisa ada di sini?

“H-5 kau akan kembali ke Indonesia, apa kabar?”

Secara sadar, aku mengepalkan tangan.

“Hei, aku Alana, pacarmu, kenapa seperti melihat lawan perang begitu?”

Obrolan kami terputus oleh suara ambulans yang datang. Namaku dilanggil oleh petugas medis lain, kutinggalkan Alana tanpa kata, sedang dia melemparkan senyum yang masih seperti terakhir kali aku bertemu dia.

“Dokter Ilalang, ayo!”

Tergopoh, aku berlari menghampiri brankar yang baru datang. Lagi-lagi pasien yang masuk adalah anak kecil.

***

Jika saja hari itu aku memberitahu Kejora kalau Alana ada di Gaza, mungkin jalan cerita kami tidak akan seperti ini, tetapi, aku tidak memberi tahu Kejora, takut dia khawatir atau berpikir yang tidak-tidak. Juga, dalam pikiranku ketika itu, tinggal 5 hari lagi, Alana tidak mungkin macam-macam di negara orang.

Terlebih mengetahui lebih lanjut kalau Alana adalah relawan, aku mulai sedikit tenang.

“Jangan melihat aku seperti itu, aku tidak gila, Ilalang. Dan jangan pernah lagi kau atau Orion memasukkan aku ke rumah sakit jiwa. Itu kejam sekali.” Dia mengomel saat kami duduk berdua menghabiskan makan siang.

“Kalau kau tidak gila, kau tidak mungkin sampai ada di sini.”

“Hei! Lihat ini!” Dia menyodorkan name tag yang tergantung di lehernya, “ini juga, nih, lihat. Nah ini juga.” Ditunjukkannya rompi relawan juga nasi kotak jatah makan siang relawan yang dia bawa ke meja makanku, membuat dokter lain jadi terpaksa meninggalkan meja makan lebih cepat karena sungkan dengan keberadaan Alana.

“Kalau begitu, kerjakan tugasmu dan berkumpullah dengan kelompok relawanmu, Na.”

“Kau mengusirku?”

“Bukan begitu, tapi ….”

“Kau rela masuk jurusan kedokteran demi Kejora, lalu kenapa aku tidak boleh jadi relawan demi dirimu, Lang?? Oh ya, kau sadar tidak sih? Nasib kita itu sama, sama-sama mengejar orang yang cintanya justru sudah sama orang lain." Dia berhenti, nada bicaranya memelan, "Lang, aku ngga gila.”

Makanan di piringku belum habis, tetapi selera makanku sudah hilang akibat mendengar ucapan Alana. Dia benar, tetapi aku masih denial.

Tanpa menghabiskan makanannya dia berdiri, aku menahannya, duh, aku juga tidak tahu kenapa aku bisa menahannya. Yang pasti dari mulutku keluar kata, “Na, tunggu. Ngga boleh mubazir, duduk dan habiskan makananmu.”

Senyum Alana langsung terkembang usai aku mengatakan hal demikian, dia kembali duduk, menuruti perintah.

Andai aku tidak menahannya ketika itu, apa mungkin jalan cerita ini juga akan berbeda?

***

“Anda janji menjawab pertanyaan saya pada pertemuan ketiga.” Ratifa tiba-tiba saja memotong cerita, padahal perihal pertemuan dan kisah aku dan Alana belum tuntas.

“Pertanyaan yang mana?”
Kudengar dia mengembuskan napas kesal, aku tertawa, sebenarnya aku hanya pura-pura lupa. Aku ingat semuanya. Semua hal yang terjadi dalam keadaan sadar.

“Anda yang menulis tentang aku, seharusnya Anda mengenal baik karakter yang Anda tulis.”

Kali ini dia tidak mendengkus, tetapi beristighfar, apa jawabanku mengesalkan? Atau penuh dosa sampai harus mengucapkan istrighfar?

“Aku dan Alana tidak menikah. Kami juga tidak tinggal satu apartemen, itu semua gosip. Kami hanya tinggal satu gedung dengan apartemen bersebelahan.”

“Apartemen bersebelahan? Dengan conneting door?”

Aku tertawa. Sepertinya dua tahun membuat dia lupa karakter tokoh yang telah dia tulis seperti apa.

Tawaku belum usai, penulis itu kembali buka suara, “Anda benar-benar tidak akan pernah kembali lagi?”

Pertanyaannya membuat tawaku berhenti. Aku diam. Dan yang membuat aku terganggu usai pertemuan ketiga adalah ucapan terakhir penulis itu, dia bilang, “Anda tahu kalau sebenarnya Orion juga menyukai Kejora, kan? Bagaimana kalau akhir cerita ini adalah Kejora benar-benar bersama Orion? Apa Anda yakin bisa hidup dengan lebih banyak penyesalan nantinya?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 11, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KEJORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang