sᴀᴛᴜʀᴅᴀʏ, 𝟷𝟶:𝟺𝟻 ᴀᴍ-
Dinginnya malam bukanlah penghalang bagi seorang Kim Doyoung untuk berdiri di penghujung menara yang ada di tengah-tengah kota.
Kalau ditanya bagaimana caranya anak laki-laki itu sampai di sana, jangan dipikir dia naik lewat tangga, apalagi naik lift.
Nyatanya Doyoung justru lebih suka melompat dari atap satu ke atap gedung lainnya, lalu memanjat pijakan tak rata yang menyebar di pinggiran gedung untuk sampai ke titik yang ia inginkan.
Tubuhnya yang polos tanpa dibarengi alat keselamatan itu direntangkan, kakinya benar-benar sudah menginjak ujung pijakan.
Terlihat seperti orang yang bersiap untuk bunuh diri, tapi Doyoung tidak melakukannya.
Ia kini justru kini tengah bersiul anteng, sambil tetap fokus pada hamparan gemerlap kota di malam hari.
Lensa dari teropong yang anak lelaki itu gunakan berkilat samar.
Ahh, rupanya percik ledakan dari bubuk mesiu kembali berhasil lolos kali ini.
Pemuda itu tampak membasahi bibirnya sebentar, menjilat labium ranum itu dengan lidah, sebelum akhirnya memilih untuk angkat suara. Mengabari selusin anak laki-laki yang kini mungkin tengah sibuk mengurusi misi masing-masing.
"Eagles-10, izin melapor." Ujarnya, sambil memegang pangkal earpiece pada saluran walkie talkie yang tersambung.
Terdengar suara dengung dan gemersik samar selama sesaat, sebelum akhirnya suara seseorang menyahut.
"Diizinkan." Ujarnya.
Suara kecil pilat yang terdengar lucu itu menggema. Menghasilkan kekehan gemas dari beberapa orang yang juga bergabung di saluran yang sama.
Doyoung memiting ponselnya, memeriksa daftar para tersangka yang mereka targetkan beberapa hari belakangan ini.
"Target Seo Changbin, kasus penjualan organ dalam ilegal terlihat di 128° barat daya, sekitar 50 meter dari Seven Luck Casino." Tutur si cowok Kim, kembali mengantongi ponsel dan memeriksa keadaan melalui teropong.
"Seorang pejalan kaki mabuk baru saja ditembak." Lanjutnya lagi, agak bergumam.
"Loh, apa gak ada saksi mata lain? Kan itu tempat ramai?" Mashiho bertanya heran. Dia kaget, jelas!
Seven Luck Casino termasuk destinasi yang sering dilalui hilir mudik kendaraan maupun pejalan kaki. Tempat judi itu bahkan sangat memungkinkan untuk seorang anak bermain di area parkir bagian depannya.
"Lo tau kan, negara kita ini udah gak bisa terselamatkan lagi." Suara bariton orang lain tiba-tiba saja menyela, dia Park Jihoon.
Cowok kelahiran maret itu tengah bersandar di kursi samping Mashiho, ikut ambil serta dalam kendali tim dari balik layar. Mengawasi pergerakan kawan-kawannya melalui radar dan juga monitor yang terpampang besar-besar di ruang bawah tanah basecamp milik mereka.
"Singkat kata, mereka mungkin mendengar suara teriakan minta tolong. Tapi tetap bertingkah acuh, lebih memilih menulikan telinga dan membutakan mata dibanding terlibat dengan kehidupan orang lain." Lanjut Jihoon lagi. Kepalanya tampak ditengadahkan ke langit-langit, menerawang sekelebat bayangan yang berputar bak film pendek tahun 90-an.
Mashiho mengangguk, mulai paham ke mana arah pembicaraan kali ini.
"Dunia semakin keras, mereka gak mau menambah masalah lagi. Gue yakin pasti Malaikat Atid lagi puyeng gara-gara kebanjiran job." Doyoung ikut menimpali.