Hilang

215 31 15
                                    

Aku tak berselera makan akhir-akhir ini. Bukan hanya makan, melainkan semuanya. Aku tidak lagi berkumpul dengan teman-temanku, aku juga tidak mau menemui siapapun di dalam rumahku. Aku mengurung diri, memikirkan solusi dari semua masalah ini. Aku juga tidak masuk sekolah tiga hari sejak Chanhee mengatakan hal yang sebenarnya tidak ingin kudengar meskipun aku terus mempertanyakannya.

Aku tidak tahu bagaimana dengan Chanhee, tapi aku tidak menginginkannya. Aku tidak menginginkan anak itu. Jalanku masih panjang, haruskah aku merelakan semua hal yang mungkin bisa kuraih hanya untuk Chanhee dan bayi di dalam tubuhnya?

Bahkan meski aku mencintainya, kurasa aku masih belum siap untuk berkorban segala hal hanya untuk dirinya.

Aku duduk bersandar di kaki tempat tidurku, mendongak menatap langit-langit kamar yang kurasa semakin gelap. Bahkan menyalakan lampu pun aku merasa enggan. Saat ini di tanganku, ada sebuah benda dengan dua garis merah di dalamnya. Setelahnya, seperti hari-hari yang sudah kulalui, aku kembali berlari ke kamar mandi, memuntahkan apapun meski hanya air karena perutku pun kosong tak terisi.

Suara ketukan pintu terdengar seiring dengan namaku yang terus terdengar. Aku berteriak, meminta siapapun itu untuk masuk saja karena pintuku tak pernah terkunci.

"Juyeon, kau baik-baik saja, Nak?"

Tentu saja, siapa lagi jika bukan eomma?

Susah payah aku berdiri, menutup closet, lalu tersenyum saat eomma sudah tiba di hadapanku. Aku berkata jika semua baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Meski dalam hati ingin sekali aku berkata sebaliknya.

Ayah dan ibuku... apa yang akan terjadi jika mereka tahu?

Dalam hati pun aku bimbang. Haruskah aku mengatakan yang sesungguhnya?

Akan baik-baik saja jika aku melupakannya dan tidak kembali hari itu. Lagipula, Chanhee tidak mungkin berani menyulitkanku, namun dengan bodohnya aku datang dan mengulangi kesalahan yang sama untuk kesekian kalinya. Apa yang Chanhee miliki hingga mampu memikatku sampai seperti ini?

Sejujurnya... ini tidak masuk akal.

Banyak yang lebih menarik darinya, banyak yang lebih manis dari parasnya, dan banyak juga yang lebih cantik jika hanya untuk membuatku terpesona. Lalu, apa sebenarnya yang aku lihat dari sosoknya?

Bukankah semua hanya permainan?

Aku juga sudah memenangkannya, lantas kenapa aku justru merasa seperti pecundang sekarang?

"Chanhee...."

Ibuku menatapku, mungkin tak mengerti dengan maksud dari gumamanku. Bahkan hanya menyebut namanya saja sudah membuatku ingin menghampirinya.

Kurasakan wajahku basah. Sungguh, aku tidak akan bisa menyelamatkan diriku sendiri kali ini.

Kutatap ibuku yang kalut karena tingkahku. Aku terisak, aku menangis, dan dengan kesadaran penuh akan resiko yang mungkin aku terima setelah ini, aku menuntun ibuku untuk duduk. Kuraih benda berwarna putih itu dan kuserahkan padanya.

Dan bisa ditebak, ibuku menutup mulutnya, tak percaya atas perbuatan anaknya. Anak yang ia besarkan berubah bejat dan tak pantas lagi disebut manusia.

Ia menangis.

Tangisan pilunya membuatku semakin menundukkan kepala, hampir berlutut di bawah kakinya.

"Eomma, mianhae... Eomma... eottokhae? Eomma ...."

*

Tok

Tok

Tok

Juyeon berdiri di kamar yang pernah ia singgahi. Kamar 309. Kamar yang menjadi saksi hal tak pantas yang sudah terjadi. Kamar dimana cintanya bersembunyi.

Tok

Tok

Tok

Kembali ia mengetuk pintu kayu yang sudah mengelupas di sana-sini itu sedikit keras. Tak lama, pintu terbuka. Hanya sedikit, namun bisa ia lihat wajah sendu Chanhee yang menyembul dari baliknya.

Juyeon mendesah lega, ia tersenyum. "Chanhee, boleh aku masuk?"

Tak ada jawaban, namun setelah cukup lama menunggu pintu itu akhirnya terbuka jauh lebih lebar dari sebelumnya.

Juyeon masuk dan menutup pintu. Diikutinya langkah Chanhee yang sudah berdiri di ambang jendela.

Rambutnya yang biasa halus dan rapi kini tampak kusut. Tubuhnya pun semakin kurus dan tampak semakin ringkih. Berapa hari ia tak melihat gadis ini? Juyeon berjalan mendekat, berdiri tepat di sisinya. Dipandanginya wajah cantik yang sudah memikat hatinya. Seperti yang pernah Juyeon katakan di awal pertemuan mereka, ia sangat menyukai wajah dan mata Chanhee.

Namun, kini wajah yang biasa dingin itu seolah kehilangan sinarnya. Bahkan mata yang biasa memandang siapapun dengan tajam itu kini berganti dengan binar pilu.

"Ada perlu apa kau datang ke tempat ini, Juyeon-ssi?"

"Aku ingin kembali padamu, Chanhee."

Chanhee menyandarkan kepalanya pada daun jendela, tanpa ekspresi ia tertawa. "Kembali? Atau kau datang hanya untuk meninggalkanku lagi?" Seperti yang terakhir kali.

Juyeon mendesah, "Mian. Kurasa... aku hanya terkejut saat itu."

"Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang?"

Juyeon meraih tubuh Chanhee, membawanya ke dalam dekapannya. Dipeluknya erat, diciuminya dahi juga surai kelam milik Chanhee. Lembut dan penuh kehangatan. Semua perlakuan manis yang selalu berakhir dengan menyakiti. Dan hari ini, mungkin itu akan terulang kembali.

"Ayo kita gugurkan anak ini, Chanhee."

Love Story - JuNew [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang