Prolog

50 12 22
                                    

✨✨✨Setiap perbuatan memiliki akibat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

✨✨✨
Setiap perbuatan memiliki akibat.
So, prepare yourself!
✨✨✨

Dua gadis dengan seragam yang sama itu saling berhadapan. Satu di antaranya berdiri kaku. Tangannya sedikit gemetar dengan peluh yang jatuh mengenai ujung sepatunya. Sedang gadis  yang lain tampak tenang, terbukti dari caranya berdiri dengan satu tangan yang dimasukkan ke dalam saku rok selutut. Sedetik kemudian dia ikut berdiri tegak, melangkah pelan mendekati gadis yang ketakutan itu.

“Lo mau apa?” Dengan bibir bergetar, gadis berambut sepinggang itu memberanikan diri untuk bertanya.

“Lo tau betul maksud kedatangan gue ke sini,” jawab gadis lain dengan tenang.

“Lo mau apa, Raya?!” Sekali lagi gadis itu bertanya, kali ini dengan suara yang lebih lantang.

“Nggak usah pura-pura bodoh.” Raya, gadis itu sekali lagi menjawab dengan santai. Suasana gelap rooftop sekolah tak sedikitpun membuatnya takut.

“Raya, gue mohon, semua bisa dibicarain baik-baik.” Untuk kesekian kalinya, Lea, gadis yang sudah gemetar itu memohon pada Raya, lawan bicaranya.

“Lo udah kehabisan waktu, Lea. Lo tau betul soal itu.”

Raya mengangkat pandangannya ke langit gelap yang menunjukkan sederet angka yang semakin berkurang. Lengkap dengan nama Lea yang tertulis jelas di sana.

“Gue nggak mau mati di tangan lo!” Lea berteriak kencang tepat di depan wajah Raya.

“Itu udah takdir, Sayang,” ucap Raya menyunggingkan bibir.

Lea menggeleng keras. Sesekali melirik ke arah langit yang menunjukkan deret angka yang berjalan begitu cepat.

Sepuluh menit. Waktunya hanya tersisa sepuluh menit lagi. Sebuah kesialan baginya saat harus mengetahui detik-detik terakhirnya hidup di dunia.

Bukan cara seperti ini yang dia inginkan. Lea tahu, semua akan pergi pada waktunya. Namun, yang ia sesali saat ia harus tahu kapan dan di mana ia harus pergi untuk selamanya dari dunia ini.

Lea mundur teratur saat Raya berusaha mendekatinya. Namun, ia harus terhenti saat punggungnya bersentuhan dengan pembatas rooftop. Tidak. Ini tidak benar. Cairan bening mengalir begitu deras dari mata Lea yang sudah memerah. Bibirnya bergetar, saat Raya semakin menghapus jarak keduanya.

“Gimana rasanya bisa tahu kapan lo akan mati?” Raya menghentikan langkahnya.

“Gimana rasanya bisa liat sisa umur lo sendiri?” Sekali lagi Raya bertanya tanpa mempedulikan Lea yang sudah berteriak seperti orang kesetanan.

Lea terus berteriak meminta pertolongan, meski ia tahu semua akan sia-sia. Tidak ada yang bisa menolongnya sekarang. Sekalipun itu Tuhan. Akhirnya telah ditentukan, dan sialnya dia harus melihat detik-detik hidupnya yang semakin berkurang.

RedemptionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang