Awal November di perempatan Jalan Luxborough, London. Embusan angin delapan derajat celcius membawa daun-daun kering yang jatuh—beberapa mendarat di atas kap mobil yang terparkir sepanjang jalan, sebagian menempel pipih di aspal terlindas ban mobil yang lalu Lalang.
Di depan etalase toko gawai, di bawah tiang lampu jalan berwarna hitam gagah, seorang pria berdiri mengamati tembok-tembok bata membentuk gedung dari ujung ke ujung jalan. Nyaris duapuluh jam melayang dari Jakarta ke London menyinggahi Doha, kini ia meragu pada apa yang membuatnya terbang sejauh itu.
Yusuf. Ia sepakat dengan dirinya sendiri untuk memakai nama itu sekarang. Bukan nama yang ia peluk sejak lahir. Namun, nama yang ingin ia miliki sekarang. Entah sampai kapan. Mungkin sampai mati dan papan nisan itu ditanam tanpa ada sesiapapun yang mengenali pemilik dan nama aslinya.
Sudah lah, gumamnya dalam hati sambil memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku celana—bersembunyi dari embusan angin dan mencari kehangatan. Tak perlu lagi ia berbicara pada diri sendiri terlalu lama. Ia bergegas menuju sebuah alamat yang tertera di Maps di ponselnya. Ia menelusuri jalan panjang sambil memandangi gedung-gedung yang terlihat seragam tinggi dan wujudnya; dinding bata merah dengan jendela kaca berbingkai putih menyambut matahari memasuki ruangan-ruangan di dalamnya. Yusuf mengerutkan dahinya ketika mendapati patung-patung berbentuk aneh di atap yang cukup menyeramkan. Beberapa menyerupai anjing bertaring naga dengan sayap malaikat. Ada pula yang berbentuk pria tua kerdil memakai mahkota daun serupa Julius Caesar. Satu demi satu patung ia kenali bentuknya, hingga akhirnya ia tiba di titik yang diarahkan aplikasi Maps.
Sebuah pintu dua daun dengan bingkai putih dan kaca besar bergagang emas menyambut di depannya. Ia menoleh pada papan jalan yang tertempel di sebelah kiri pintu, Whakaaro House. Memastikan benar alamat yang ia tuju.
Ia mematung. Memandangi tampilan diri yang terpantul samar di kaca pintu. Tiba-tiba dirinya miris melihat sosok fresh graduate desain interior kampus swasta mengenakan kemeja biru muda berlapis duffle coat biru dongker berdiri dalam ketidakpercayadirian itu. Sambil menghembuskan nafas dipaksakan, memantapkan diri, ia berjalan melewati pintu itu dan siap menghadang apapun yang ada di depannya.
Setibanya di Whakaaro House, ia diminta menunggu oleh resepsionis yang ternyata seorang warga negara Indonesia. Umurnya sekitar 30-an, berkulit cokelat, bermata bulat, dan senyum manis melengkung seperti Nutella cokelat. Namanya Roma. Yusuf mengetahui itu dari tanda pengenal yang tergantung di dadanya.
Yusuf duduk di pojok ruangan. Menyandarkan diri di sofa menyiku berwarna hitam dengan desain minimalis. Di depannya terlihat ruangan kantor luas tanpa sekat dengan dinding batu-bata tak bercat. Deretan kubikel berwarna kaki memenuhi ruangan; hanya sebagian yang berpenghuni—sebagian mungkin sedang ditinggal pergi penghuninya. Namun, salah satu kubikel itu kelak jadi huniannya sesaat lagi.
Sesekali, Yusuf memandangi lagi dirinya pada pantulan permukaan meja kaca di depannya. Seorang pria dengan mata bulat, alis landai, hidung paruh parkit, dan bibir tebal yang mendadak ragu pada pilihan hidupnya.
"Mas Yusuf," panggil seorang perempuan dari meja resepsionis sambil tersenyum. "Lima menit lagi Pak Sultan selesai meeting, kamu siap-siap, ya."
Yusuf yang sudah terlanjur berdiri dan siap menghampiri, langsung duduk lagi.
"Biasanya tamu-tamu ke toilet dulu dalam lima menit ini, Mas. Bapak enggak suka di-interupsi kalau lagi ngobrol," ucapnya menjelaskan maksud peringatan lima menit barusan.
"Oh, iya. Iya," tak ingin banyak perlawanan, Yusuf berjalan menuju toilet yang sudah ia sambangi saat pertama kali tiba di kantor ini.
Sesampainya di toilet, ia berdiri di depan urinoir sambil membiarkan pelirnya tergantung beberapa saat. Membiarkan perasaan ingin kencing yang belum ada hadir perlahan-lahan. Dan sepanjang penantian itu, separuh kesadarannya terbang menghampiri momen demi momen yang mengantarnya pada hari ini; kantor ini; dan kesempatan ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Roman Jagat I: Ucap Ucup
FantasyKetika "mulutmu adalah mautku" menjadi sebuah kenyataan, maka berlari jauh dari orang-orang tersayang adalah satu-satunya yang bisa Yusuf lakukan.