8.

1.4K 135 24
                                    

"Ternyata lo di sini." Mira berjalan mendekati Vivi yang berdiri di belakang tembok pembatas balkon rumah sakit. "Hape ditinggal, pager ditinggal, gak ada yang tahu kemana." Omelnya.

Vivi sama sekali tidak menggubris ucapannya Mira, ia masih menikmati meminum kopi sambil melihat pemandangan dari balkon rumah sakit ini. Sebenarnya ini lebih bisa disebut sebagai rooftop, tapi apa bedanya antara balkon dan rooftop, toh sama-sama ada di atas gedung.

Ini hari pertamanya Vivi kembali bekerja setelah satu minggu cuti, tangan kirinya juga sudah bisa digerakkan, ia juga tidak lagi mengenakan penyangga tangan, hanya saja sebagai gantinya ia perlu mengenakan deker bahu selama beberapa waktu untuk memperbaiki bahunya.

"Bokapnya Marina dateng lagi, gue ngasih janji buat ngurus masalah itu hari ini. Sekarang lo harus nemuin Rama buat jadi pengacara lo, jaga-jaga dia nyeret lo ke pengadilan sebagai kasus malpraktek."

Vivi menghela napas panjang, dulu saat ia menjadi dokter pada tahun-tahun awal, jarang sekali ada yang menuntut seorang dokter karena masyarakat beranggapan kalau dokter sudah melakukan yang terbaik. Tapi sekarang berbeda, mau dokter melakukan terbaik atau tidak, kalau hasilnya tidak sesuai pasti tetap dianggap sebagai malpraktek oleh pihak keluarga.

"Gue pengen ngomong sama elo," Vivi meminum kopinya sebentar lalu ia menatap ke arah Mira. "sebagai orang tua."

Mira tersenyum kecil, ia menatap ke depan, "Gue juga ada yang perlu gue omongin sama elo sebagai seorang istri."

"Chika tahu gue tidur sama elo tempo hari, dia ngomong semuanya ke gue bahkan dia juga bilang gapapa kalo gue pergi. Gak pernah sekalipun gue berfikir buat ninggalin Chika sampai akhirnya lo bilang kalo lo masih suka sama gue."

Vivi tersenyum kecut saat mengingat dimana ia berduaan dengan Mira dan saat ia berduaan dengan Chika, dua ingatan itu muncul bersamaan dalam pikirannya. Ia menganggap urusan dirinya dengan Mira sudah selesai sampai akhirnya Mira kembali jujur kepada dirinya, dan itu membuat dirinya benar-benar pusing.

"Gak usah bertele-tele, langsung intinya aja, gue gak punya waktu lama." Tegas Mira.

Vivi menganggukkan kepalanya, ia menoleh ke arah Mira lalu tersenyum kecil. "Sorry, Mir. Gue gak bisa ninggalin Chika, gue juga gak bisa sama elo. Gue gak mau kita berdua jadi perusak keluarga kita masing-masing."

Ini kali kedua Mira menawari Vivi dan jawabannya sama-sama ditolak oleh Vivi. Hanya saja mungkin ini adalah penawaran paling akhir, setelah ini tidak akan ada tawar menawar lagi dalam hal urusan keluarga.

"Kita bukan anak SMA atau ABG yang baru kenal cinta dan cuma mikir diri sendiri. Lo punya keluarga, gue punya keluarga, kita gak lagi mikir diri kita sendiri, kita harus mikir pasangan kita, anak-anak kita. Jadi gue lebih milih keluarga gue daripada elo." Sambung Vivi.

Selama beberapa menit mereka terdiam bersamaan, tidak ada yang kembali melanjutkan percakapan itu atau berusaha mencari topik lain. Vivi pikir ini saatnya ia mendengarkan dari pihak Mira tentang masalah ini. Sejak dulu yang selalu menjadi masalah adalah Mira, jadi Vivi merasa kalau ia harus menyadarkan Mira sebelum kelewat batas.

"Gue tahu." Ucap Mira, kedua tangannya berpegangan ke pembatas tembok. "Rama juga ngucapin hal yang sama."

Vivi menoleh ke arah Mira dengan cepat, "Eh?"

Mira mendongakkan kepalanya ke atas, ia tersenyum kecil, "Dia tahu gue tidur sama elo, dia bilang gapapa kalo semisal pisah asalkan dia tetep bisa ketemu sama Vino setiap hari. Waktu dia ngomong gitu, gue gak bisa ngomong apa-apa sampe tiba-tiba gue nangis trus dia meluk gue. Rama terlihat terluka tapi sebisa mungkin buat terlihat gapapa dan gue ngerasa bersalah karena selama ini gue terlalu mikir diri gue sendiri."

RetinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang