Prolog

41 9 3
                                    

Kabut tipis terlihat jelas di depan mata, angin sepoi berhembus dengan pelan mengiringi pagi yang menjelang. Bahkan sang surya pun belum menampakkan dirinya, masih menutup diri di ufuk timur sana. Meskipun begitu, keadaan kota Jakarta sudah sangat sibuk dengan berbagai aktivitasnya.

Sebuah mobil SUV berwarna hitam melaju membelah udara dinginnya kota Jakarta. Di balik jendela mobil hitam legam itu nampak seorang gadis dengan seragam putih biru tengah terduduk disamping si pengemudi. Telinganya yang ia sumbat dengan kabel putih itu membuat rungunya hanya mendengar alunan musik pop yg ia putar. Mengabaikan sang pengemudi di sampingnya.

Tak ada pembicaraan saat itu. Hening melanda. Si gadis hanya menikmati suasana kota yang baru ia tinggali selama beberapa hari terakhir ini sambil mendengarkan alunan musik di telinganya. Sedangkan sang pengemudi hanya terfokus kepada jalanan yang mereka lewati, tanpa ada niatan untuk memulai pembicaraan.

Mobil hitam itu melaju dengan kecepatan sedang di jalanan kota yang lengan. ini masih pagi, bahkan sangat pagi untuk seukuran siswa masuk sekolah. Si gadis berseragam pun tampaknya masih ingin memejamkan matanya menyusuri alam mimpi. Akan tetapi sekolahan barunya telah menanti, membuatnya mau tak mau harus berangkat sepagi ini.

“Masih jauh kak?” Tanya sang gadis.

“Nggak ko, bentar lagi nyampe.” Jawab sang kakak di balik kemudinya.

“Dari tadi ngomongnya bentar lagi, bentar lagi. Tapi gak nyampe-nyampe. Bilang aja masih jauh.” Dengus si gadis.

Sungguh sial memang, sepagi ini dia harus berangkat sekolah dengan kakaknya. Padahal gerbang sekolah tutup jam 07.30 pagi, dan ini masih jam 06.10 WIB. Kakaknya itu benar-benar bersemangat ketika dirinya kembali lagi masuk SMA setelah kepindahannya ke Jakarta.

Bahkan sejak semalam kakaknya mendongeng pengalamannya selama di SMA yang bahkan tak ada menarik-menariknya. Cuma cerita klise tentang kakaknya yang sering ketiduran di kelas dan berakhir dengan hukuman tapi masih bisa menjuarai kelas.

Si kakak malah terkekeh mendengar celotehan adiknya. “Ya makanya kita berangkat pagi-pagi, jaraknya lumyan. Belum lagi kalau udah macet, nanti takut telat.” Jelas sang kakak.

“Hh... tapi aku masih ngantuk kak.” Rengek si gadis dengan memejamkan mata beningnya.

“Ey, anak gadis kok gitu? Ayo dong, semangat!”

•••

“Tuan....! Tuan Muda...! Ayo bangun! Ini sudah pagi. Tuan harus berangkat sekolah.”

Suara bising itu kembali menguar ketiga kalinya, namun sang pemilik kamar tak kunjung membuka mata. Ia masih menggulung dirinya dengan selimut hangat nya. tak tahu jika sang mentari sudah berajak naik, menampakan sinarnya yang terang.

“Tuan...! Ayo bangun!”
Sekali lagi suara bising itu menguar, membuat Nathan -sang pemilik kamar- beringsut.

“Apa sih Bi Eni? Aku masih ngantuk, jangan ganggu!”

“Ayo tuan, bangun. Ini sudah siang. Nanti tuan terlambat masuk sekolah.” Bi Eni masih mecoba membangunkan majikannya yang bahkan tidak peduli dengan waktu. Nathan hanya butuh tidur sebentar lagi. Tidak lebih.

“Aduh.... Bibi berisik banget sih! Emang jam berapa sekarang?!” Tanya Nathan yang masih memejamkan matanya, masih nyaman dengan kasur putih nan empuknya.

“Jam 07.17 pagi.”

“15 menit lagi aku bangun!”

Baiklah, Bi Eni sepertinya harus mengalah lagi. Ia tidak memiliki wewenang apapun untuk memaksa Nathan yang merupakan majikannya itu. Yang terpenting Nathan sudah mau untuk bangun, meski nanti.
“Ya sudah, kalau begitu Bibi siapin sarapan dulu untuk tuan.”

Dengan begitu, Bi Eni lengser dari hadapan Nathan diiringi dengan gumaman Nathan dibalik selimut tebalnya.

Hh...! Hari senin sialan. Tidur Nathan menjadi terganggu oleh suara Bi Eni yang terus berkicau seperti burung beo. Nathan heran, kenapa senin ke Jum'at itu lama sedangkan sabtu ke minggu sangat singkat? Padahal rasanya baru saja ia bisa bernafas lega dari tugas dan materi sekolah yang bahkan tak ia mengerti sedikit pun.

Sekarang sudah masuk sekolah lagi?

Cih menyebalkan sekali.

Kalau dipikir-pikir lagi, untuk apa Nathan bersekolah?

Mencari pekerjaan?

Hh, sorry. Hidup Nathan sudah terjamin untuk tujuh turunan.

Uang? Emas? Rumah mewah? Mobil mahal? Mantion yang luas? Perusahaan? Villa megah?

Semuanya sudah Nathan punya. Jadi untuk apa Nathan bersekolah. Membuang-buang waktu saja.

Baiklah, sepertinya ini sudah cukup. Nathan segera bangkit dari kasurnya dengan ogah-ogahan. mata sayunya itu melirik arah nakas meja.

“Jam 07.27, Masih pagi kok.” Gumam Nathan.

Dengan segera Nathan bergegas mandi. Tak perlu berlama-lama. Badan Nathan sudah wangi, bahkan tanpa parfum pun.

Setelah bersiap-siap, Nathan segera turun memakan sarapannya dan melesat dengan salah satu koleksi mobil mewah dan mahalnya di jalanan kota yang sudah ramai oleh pengendara lainnya.

•••

Nathan Gilbert Abraham

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nathan Gilbert Abraham

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 01, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dear LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang