Aku lelah. Memuakkan rasanya setiap hari melakukan sesuatu yang tidak aku suka. Kuteguk kopi yang ada di tanganku berharap masalahku terteguk bersamanya.
Dalam keluhanku malam itu, aku melihat seorang gadis tertegun di bangku taman.
Ku hampiri perlahan. Sepertinya dia terkejut, terlihat mata bulatnya menganga.Ku ajak dia bicara. "Hei gadis kecil, kau sedang apa?"
"Iya bibi."
"Kau tidak pulang?"
"Iya bibi."
"Kenapa?"
"Iya bibi."Aku merasa aneh. Dia hanya mengulang kata yang sama seperti kaset butut milik nenek di kampung.
"Hei, katakanlah kau kenapa?"
Alih-alih menjawab, dia diam dan menendang udara dengan kakinya.
"Aku bukan orang aneh. Jangan takut padaku. Juga, aku bukan bibimu. Aku ini masih muda."Sebelum dia menjawab, aku menyahut lagi, "Dan jangan katakan iya padaku."
Lalu mulutnya terkunci. Apa dia hanya tau kata iya?"Ayah bilang aku tidak boleh menolak."
"Apa?"
"Iya."
Dia mengucapkannya lagi, seperti sebuah kebiasaan."Kenapa kau tidak pulang? Ceritakan perlahan."
Dia menggertakkan giginya. "Nilaiku buruk."
"Apa buruk sekali?"
Dia mengangguk. Matanya berembun tapi tak ada air yang menetes. "Buruk... Sampai aku jadi bodoh."Aku diam. Takut menjawab dengan kata-kata yang lebih menyakitinya. Dan menunggu ia menangis supaya aku bisa menghiburnya.
"Aku tidak akan menangis."
Apa? Dia seperti membaca pikiranku sekarang."Ke--kenapa?"
"Karena ayah tidak menyukainya. Bukankah semua orang begitu?"
"Siapa bilang. Kau boleh menangis kalau kau mau. Kau boleh sedih sesukamu. Kenapa ayahmu melarang?"
"Karena aku tidak bisa apa-apa. Aku tidak mau mendengar ayah bilang aku cuma bisa menangis saja.""Sekarang, menangislah. Ayahmu tidak ada."
"Benarkah?"
Aku mengangguk. Kenapa dia harus bertanya tentang sesuatu yang bahkan boleh ia lakukan kapanpun?Melihatnya menangis, aku sadar dari dulu sampa sekarang, dunia tidak pernah berubah. Cuma ada pintar dan bodoh. Cuma ada menurut dan membangkang. Juga, orang tua yang mematahkan ribuan harapan kecil anaknya.
Tapi pada akhirnya orang tua tidak salah.
"Ini semua demi dia."
Kata-kata klise yang ingin segera aku musnahkan."Kakak... Sepertinya habis pulang kerja."
"Ah iya, aku memang habis pulang bekerja."
"Aku juga ingin cepat-cepat dewasa. Apa bekerja menyenangkan?"Tidak. Ingin kuucapkan padanya dengan lantang. Aku tidak menyukainya. Bekerja kantoran itu melelahkan.
"Aku juga ingin cepat-cepat jadi pelukis."
"Benarkah?"
"Iya. Itu impianku loh."Ah, itu... Perasaan manis saat mengucapkan mimpi kecilnya.
Dipikir-pikir aku dulu ingin jadi apa ya? Seingatku banyak. Tapi sepertinya sudah lama pudar."Apa ini juga impian kakak?"
Tidak. "Iya." Mana mungkin aku sanggup mengatakan tidak padanya. Aku benar-benar menyedihkan."Pasti hebat sekali. Sebenarnya, aku capek, kak. Dulu aku pintar. Tapi tidak dengan sekarang. Sepertinya aku akan jadi bodoh."
"Mana mungkin. Aku bisa melihat kau pintar."
"Benarkah?"
"Iya."
"Semoga begitu."Dia masih diam. Aku pun tak berani menyahuti macam-macam.
"Harusnya aku jadi laki-laki saja. Karna aku perempuan ayah jadi sering marah."
Aku menatap langit-langit. Dulu pun aku merasa begitu. Dan mungkin beberapa perempuan juga.
"Hei, tau tidak?"
Dia menggeleng.
"Justru harusnya kau senang. Jadi perempuan itu lebih istimewa."
Sampai sekarang pun aku banyak memikirkannya.
Apa salahnya jadi perempuan? Apa salahnya lebih suka kartun disney daripada siaran bola? Apa salahnya kalau kita suka mendandani boneka daripada bermain bola?
Kita juga berhak punya cita-cita. Berhak punya mimpi dan menggapainya."Benarkah? Kenapa?"
Aku tak sadar tersenyum menatapnya antusias. "Mungkin kita nggak punya tubuh yang kekar, ataupun kekuatan, tapi kita punya hati yang penuh kasih sayang, punya pelukan yang hangat, punya belaian tangan yang lembut."
Gadis itu ber'woah' lalu mengelus tangan dan dadanya.
"Teruslah berharap. Kalau kau suka melukis, jangan tinggalkan. Dunia memang jahat karena tidak membuat kita sempurna. Tapi kita juga bisa berusaha. Jadi, berusahalah semampumu. Jatuh sekali, bangun lagi. Menangis, lalu bertekad kembali. Aku yakin kau bisa."
Dia menatapku kagum. "Wah, aku ingin jadi sepertimu."
"Jangan." Kau akan menyesal. Aku melupakan mimpiku dan menyerah pada semuanya. Lalu berakhir jadi orang dewasa yang memalukan.
"Jangan pernah berharap cepat menjadi dewasa.""Hmm? Memang kenapa?" Karena dunia tidak seindah dongeng cinderella. Juga, tidak mengabulkan permohonanmu seperti genie.
"Tapi kakak hebat. Yang ku tau, orang dewasa menyeramkan. Tapi kakak tidak. Kakak kuat sekali ya."
Ah. Aku? Benarkah?
"Aku jadi ingin pulang sekarang. Aku tidak takut lagi pada ayah. Aku bisa melukis sambil belajar kan. Lagipula aku kan punya hati yang besar." Ucapnya menyengir.
Benar. Tekad yang menyenangkan. Aku jadi ingat dulu pernah merasakannya.
"Aku pulang dulu ya, bibi."
Dia berlarian di jalanan yang disorot lampu. Manusia yang punya mimpi akan terlihat bersinar meski tanpa cahaya."Sudah kubilang aku masih muda." gumamku sambil meneguk kopi.
Bertemu dengannya, membawa sesuatu yang hilang kembali datang. Mimpi yang sempat kuterbangkan, menemuiku, memaksa masuk dan menghiburku. Tanganku bergerak tanpa kuminta. Menuliskan sajak-sajak indah yang kurindukan.
Benar. Bagaimana bisa aku lupa?Tak peduli sesampainya di rumah aku akan dimarahi, dihukum, tapi akan lebih sakit jika aku hidup tanpa menjalankan sesuatu yang aku inginkan.
Ini mimpiku.
"Aku tinggal memulainya pelan-pelan kan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
POEM
PoetryKadang, orang lebih suka bercerita atau memendam. Memilih untuk membagi sesaknya bersama atau berusaha melupakannya. Mungkin menurutnya, menulis pun untuk apa. Hanya jadi tumpukan sampah. Makanya kalau kalian lihat cover ini, hurufnya berantakan. Ka...