{1}

417 65 40
                                    

"When i say you are mine, you are mine."

**

"INI KEPUTUSAN TERBAIK LEVINA MAH, PAH!"

Lima belas jam yang lalu....

Lima belas jam yang lalu, ia melantangkan kalimat tersebut dengan begitu percaya diri. Hanya sebagai satu keyakinan terakhir apa ia yakin dengan keputusan beasiswa antar pelajar tersebut, dan detik ini juga, bolehkah Levina menyesal?

Ia baru saja membaca delapan peraturan dalam asrama bernama 'Garden' ini. Dan sebagian besar dari peraturan itu nampak gila! Apalagi yang terakhir. Oh, yang benar saja! Haruskah ia berbagi kamar dengan makhluk bernama Rosa yang jelas tidak Levina ketahui bentuk rupanya?

Bagaimana jika ia seorang nenek sihir?

Atau wanita gila psikopat yang hobi bermain pisau?

"Arghtt!" Levina mengguling-gulingkan badannya diatas permukaan kasur. Benar-benar menyebalkan! Apa iya, dengan peraturan-peraturan tidak berlogika dan mengarah ke arah horor itu, asrama ini, lingkungan ini, gedung mewah antar pelajar ini, pantas disebut surga, hah!?

Tok! Tok! Tok!

Bak alarm kematian, tiba-tiba saja pintu kamar Levina diketuk-ketuk kuat oleh seseorang. Astaga, apakah itu makhluk bernama Rosa!? Levina lirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Pukul delapan malam. Ok, tidak terlalu horor bukan di jam sekarang?

"Open the door!"

Levina tercenggang tatkala bangun dari rebahannya. Itu bukan jin bernama Rosa! Itu suara lelaki! Kalau nama Rosa, pasti perempuan kan? Ah, persetan dengan semua itu! Intinya Levina sekarang harus menyiapkan keberanian pada jantan di luar sana yang mengetuk pintunya bagai orang kesurupan.

Tok! Tok! Tok!

"Waiting!" balas Levina kesal.

"Open the door, are you hear!?"

Ayolah, ia harus mengenakan jilbabnya dulu! Lelaki mana tau betapa repot dan paniknya mengenai hal ini. Levina manyun ngomel-ngomel dalam hati. Awas saja jika lelaki itu berniat mesum, dengan siap siaga Levina menyiapkan garpu di belakang punggungnya. Sebagai senjata pertahanan diri.

Tergopoh-gopoh sekali lagi Levina merapikan jilbabnya, mengatur napas lalu membuka gagang pintu perlahan. Sedikit mengintip dengan debar jantung ntah sejak kapan melaju. Lelaki itu nyatanya tengah bersedekap dada sembari mengamati penampilan Levina lekat.

"Indonesian?" tanyanya dengan aksen Inggris kental.

Levina kini membuka setengah pintunya sembari mengangguk. Baru saja ia ingin mengucapkan sesuatu namun lelaki itu berucap cepat, "tolong aku!" Levina mengerjap-ngerjap seketika. Lelaki ini bisa berbahasa Indonesia? "Kudengar hanya kamarmu yang nampak berpenghuni. Kau baru saja berteriak beberapa menit bukan!? Tolong aku!"

Tiba-tiba saja lelaki itu menyergap masuk ke dalam kamar Levina. Belum tuntas rasa paniknya, kini semakin bertambah. Ini gila! Hei, yang benar saja! "Apa maksdmu!? Emangnya kamu kenapa!?" Levina tak peduli apa lelaki itu mengerti bahasanya yang beraksen galak dan secepat kilat itu.

Levina marah!

"Keluar!"

"Tutup pintumu, bodoh!"

"APA KAU BILANG!?"

"Aku akan selamat disini, dia tak akan berpikir aku masuk ke asrama wanita." Lelaki itu berbicara pada dirinya sendiri sambil sibuk mencari tempat persembunyian. Levina merasa sesak napas seketika. Kegilaan apa lagi kali ini?

Dor!

Oh, Allah....

Detik itu juga, tubuh sang lelaki berkulit coklat tersebut terjatuh ke permukaan lantai hingga berbunyi. Sebuah peluru tepat mengenai kepalanya. Seketika cairan mereh merembes kemana-mana. Levina terpatung seolah jantungnya akan meledak sebentar lagi.

Tepat di ambang pintu luar kamarnya, seorang lelaki berahang tegas dengan kulit putih sepucat vampir, meniupkan pistolnya dingin. Ia berjalan melewati Levina bak Levina itu bayangan saja. Sekujur tubuh Levina bergetar hebat. Anehnya, kedua bibirnya justru terkatup bisu seakan terekat lem.

Tak mampu berteriak.

Atau mengeluarkan sepatah katapun.

Lelaki berhoodie hitam itu dengan sigap sekaligus tangkas, membersihkan cairan noda merah yang merambat kemana-mana dengan kain lap khusus yang ia miliki. Levina masih terdiam bagai patung bernyawa. Lalu, secepat kilat ia bopung mayat tersebut seperti karung beras.

Kembali, berjalan menuju keluar kamar Levina dengan raut wajah begitu dingin menusuk. Kedua bola matanya seakan tak ada secercah kehangatan sedikitpun. Semakin pria itu mendekat, semakin Levina merasa nyawanya berada di ujung tanduk.

Wushh....

Angin malam menerpa tatkala lelaki itu nyatanya melewati Levina bak bayangan. Oh Allah, selamat! Levina selamat! Baru saja ia ingin menitikkan air mata haru bahagia sekaligus bernapas lega, terdengar sebuah suara serak tajam mendesis.

Gila! Lelaki itu rupanya berhenti di ambang pintu kamar Levina!

"You are mine...."

A- apa!?

Levina merasa tercekik detik itu juga. Namun seketika suasana hening mencekam. Dengan napas tersenggal-senggal Levina berusaha memberanikan diri menengok pada ambang pintu namun, kosong.

Sepanjang lorong hanyalah sepi dengan angin malam terasa janggal.

Kedua lutut Levina melemas hingga ia setengah terbaring lemas di ambang pintu. Batinnya menangis tak percaya. Seakan baru saja menyaksikan pertunjukan horor secara langsung. Yah, penembakan manusia nyata di depan kedua bola matanya sendiri.

INI SEMUA LEBIH DARI GILA!




TBC

Escape ParadiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang