1. || Olimpiade.

10K 904 44
                                    

"Dituntut menjadi sempurna. Namun lupa kalau di sana ada fisik dan mental yang terluka."

[] [] []

BOLA mata cokelat terang itu terus bergerak, mengelilingi setiap sudut ruangan merinci. Terdengar napas diembuskan kasar-tanda jika dia kelelahan sampai pelipisnya dipijat saking pusingnya. Dituntut menjadi sempurna oleh dua orang gila nilai. Sungguh lucu.

Semua ada imbalan masing-masing. Kalau boleh jujur, prinsip ini begitu menyiksa. Banyak remaja diluaran sana berterima kasih sampai sujud syukur jika mendapat di atas 80. "Hei, boleh kenalan?" sapa seseorang di samping.

Ia menoleh, lalu mengangguk pelan. "Zeca." Dingin dan pendiam. Itulah di mata orang-orang. Sekali mengusik ataupun mengganggu, ibaratkan mengeluarkan setan dari dalam tubuh manusia yang di-semayami. Cowok itu meringis, beringsut mundur-berpikir telah menganggu-nya.

"Sans ...." Zeca tersenyum kecil. "Eza Alveno Pradipta?"

"Tepat sekali."

Baru saja ingin membalas, juri mulai mengeluarkan suara dan mengumumkan siapa yang memenangkan olimpiade kali ini. Suasana semula ramai, kini berubah hening. Zeca berharap, ia mendapatkan juara satu lagi-seperti biasanya. "Juara satu olimpiade IPA kali ini, didapatkan oleh ...." Juri sengaja menggantungkan ucapan. Membuat seluruh peserta deg-degan tak karuan.

"Zeca Gabriella Anastasia! Beri tepukan yang meriah!" Tepukan tangan meriah menghiasi ruangan. Zeca menghela napas lega.

Juri satu-persatu mengumumkan juara olimpiade. "Dan terakhir ... untuk olimpiade matematika, juara satu didapatkan oleh Eza Alveno Pradipta. Dari Dirgantara Internasional School!" Zeca tertegun, baru kali ini melihat murid pindahan sekolahnya menyaingi walaupun beda bidang.

"Hah? Juara gue direbut astaga."
"Matematika biasa berapa?"
"Dua."

Cewek itu memandang Eza lekat, seperti ingin mengenal lebih dalam diri tersebut. "Congrast, baru pertama ikut olimp, udah juara satu."

"Hmm, thanks." Balasan singkat terlontar membuat mood Zeca maupun Della semakin buruk. Permulaan masalah apa ini?

"Sialan." Sedikit aneh memang, bukannya bahagia ada orang lain ikut menyumbang piala dalam olimpiade. Mereka berdua berbeda, malah tidak suka.

Zeca tertawa pelan tapi menusuk. Jejemari lentiknya meremas habis botol aqua sampai tak karuan. Mata sayunya menyipit. "Gak bisa dibiarin. Dia berbeda."

[] [] []

"EH LO TAU NGGAK SIH. COWOK GANTENG DARI MIPA 1, MURID PINDAHAN ITU LHO! BARU IKUT OLIMP UDAH DAPET JUARA 1 MATEMATIKA. OH MY GOD, ITU JODOH GUE!"

"Bukan, itu jodoh gue. Kan lo beda agama sama dia." Seruan gosip ria dari circle-circle kaum hawa memperpanas keadaan. Seolah ada semangat membara saat membicarakan 'cowok ganteng dari MIPA 1' tersebut. Belum lagi berita menyebar sampai seluruh staf-staf guru. Sedikit ramai.

"Paansih gitu doang heboh." Della memutar bola matanya malas, sedari tadi telinganya sakit dan memerah mendengar gosipan heboh tak bermanfaat tersebut. Bukannya membahas antara Zeca maupun dirinya, malah Eza.

Dilihat, tatapan kosong Zeca menuju lapangan basket membuatnya bingung. Jejemari itu dijentikkan tepat dihadapan temannya-berharap agar Zeca tidak kesurupan sewaktu-waktu. "Sadar heh."

"Rahang tegas sama alis tebal. Hmm, menarik." Hal ini membuat Della semakin bingung. Sejak berteman dengan Zeca dari kelas 10 bukan memberikan hawa positif, tetapi kebanyakan negatif walaupun dia orangnya agamis.

"Gue ada ide!" Pandangan seluruh isi kantik mengarah pada Della ketika menggebrak meja begitu keras. Ia langsung berdehem sembari meringis malu. Menyebabkan minuman Zeca tumpah mengenaskan.

"Astagfirullah, tumpah ...."

"Buat dia gak nyaman waktu olimpiade."

"Bisa, tapi susah."

Tepukan kecil dibahunya menyakinkan Zeca. Cewek dengan tatapan sayu itu berbisik. Rencananya tidak begitu buruk, teruntuk risiko ke depan kecil. Anggukan kecil terlihat, ia menyetujui ide Della-walaupun nantinya akan buruk. Tetapi tak peduli.

Dari kejauhan, cowok itu menatap lekat Zeca. Ekspresi datar serta tatapan dingin, terukir sempurna di wajahnya. Kedua tangan terkepal kuat, senyuman miring terbit. "Orang yang gue cari."

[] [] []

Mata Eza menyipit. Begitu terkejutnya setelah sekilas membaca artikel dari internet. Entah itu benar atau tidak. Jari itu bergerak-menekan portal salah satu artikel berada paling atas.

Meneliti kalimat demi kalimat. Tetap saja, ia tidak bisa percaya dengan mudah kalau 'dia' melakukan semua ini. Ekspresi serius terpampang diwajah menandakan dirinya sedang mencerna semua ini. "Baca apa?"

Eza tersentak kaget. Langsung saja menyembunyikan handphone dibalik badan-melindungi tatapan dari orang didepannya. Laki-laki itu tertawa kecil melihat ekspresi anak tunggalnya. Ia menggeleng kecil. "Artikel apa?"

"Cuma ... artikel nggak jelas."

Tanpa aba-aba, laki-laki berumur 35 tahun itu mengambil cepat handphone digenggaman Eza. Hanya memerlukan beberapa detik, ia langsung menaruh di atas meja. Tatapan dingin menyiratkan beribu kata-kata. "Perubahan rencana."

Eza tertegun.

"Rencana kedua ...."

[✓] Four GeniusesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang