46. || Reality

1.1K 206 17
                                    

Iris cokelat itu terfokus pada jemari Della yang memegang botol berisi larutan asam. Uap terlihat mengeluar ketika dia membuka botol tersebut dan mulai menuangkan pada tanaman bunga disana. Matanya membulat, mencekal pergelangan tangan Della, tatapannya tajam. “Jangan ngerusakin tanaman, bego.”

“Gue bingung mau buang kemana larutan ini, jadi disini aja,” ujar Della santai. Zeca mengembuskan napas panjang, decakan pelan terdengar.

“Kadar gas belerang dioksida dan nitrogen oksida di atmosfer sangat tinggi. Larutan asam bakal merusak tumbuhan, mereka juga mau hidup kek diri lo,” paparnya panjang lebar.

Ia menatap temannya datar. Mengangguk-anggukkan kepala paham dan menyimpan botol tersebut. Didetik kemudian teringat, dahinya berkerut. “Itu bukannya hujan asam?”

“Loh, berarti gue salah, dong. Sialan.”

Keduanya sama-sama tertawa sebab hal kecil. Tak menyadari, dibelakang kepala sekolah baru mereka menghampiri Zeca. Deheman pelan terdengar, tawa itu lantas berhenti. Ia membalikkan badan. “Ada yang mau Papa bicarakan. Ikut ke ruangan,” ujar Faizan dingin.

Cewek itu memutar bola mata malas, menggaruk alisnya yang tak gatal dan mengikuti Faizan dari belakang. Dari kejauhan, Eza, Rifqi serta Virgo mengamati pergerakan mereka berdua. Ketukan kuku dibesi terdengar nyaring. “Ada apa lagi, ya Allah ...,” gumam Rifqi lesu.

“Papa gue ada rencana baru.”

“Maksud lo?” tandas mereka bersamaan.

→ × ←

Suasana ruang kepala sekolah sangat-sangat berbeda 180°. Yang awalnya cukup terang dengan ventilasi banyak, kini gelap dan tertutup. Melihat dari depan ruangan saja kepala Zeca tetiba pusing.

Satu hal lagi. Salib yang biasa terpasang di dinding ruangan, kini tidak ada lagi. Berganti dengan rasi bintang yang Zeca tak mengerti. Apa maksud dari semua ini?

Mendudukkan diri disofa panjang tersebut, lalu menatap laki-laki itu datar. Perasaan tidak enak menyelimuti, hawa panas atau negatif menyerang dirinya—padahal AC menyala. Faizan mendongak. “Prestasi kamu yang cukup memuaskan. Membuat Papa memutuskan—”

Jeda.

“—kamu mendapat izin untuk menempuh pendidikan jenjang tinggi di universitas negeri lain. Oxford University, universitas impianmu.”

Napas Zeca tercekat diparu-paru. Tubuhnya membeku, universitas yang diucapkan Faizan tadi adalah universitas impiannya sejak dulu. Laki-laki itu tertawa pelan melihat ekspresi putrinya seperti ini. Jemarinya merogoh saku celana dan memberikan kalung emas bersimbol anak panah.

“Dipikir-pikir dulu nggak pa-pa. Satu lagi, Papa mau kamu terima kalung ini, jadi atau nggak, kamu harus pake ini.” Tangan dingin Zeca tak sengaja bersentuhan dengan tangan hangat Faizan. Rasa gugup menyerang, ia bangkit dan berlari keluar ruangan—menghindari tatapan laki-laki itu.

Senyuman tipis terukir diwajah, ketika menatap punggung cewek itu yang semakin lama semakin menjauh dari pandangan.

.

bab 46

·


Pelaksanaan ujian akhir sukses membuat kepala siapa saja pusing mendadak ketika dihadapkan oleh soal-soal rumit.

Tiga hari lagi ujian selesai, mau tak mau Zeca harus memantapkan diri untuk menerima tawaran itu apa tidak. Akan tetapi, satu hal mengganjal dihatinya. Sikap Faizan tiba-tiba berubah menjadi baik dan hangat. Tentu saja patut dicurigai.

Jemarinya meremas rambut frustasi. Ada banyak masalah belum terselesaikan, dan dirinya akan meninggalkan tempat kelahiran untuk beberapa saat? Tentu saja tidak.

Ia melirik arloji melingkar dipergelangan tangan, sebentar lagi waktu ujian akan habis. Tanpa menunggu lagi, Zeca meng-input jawaban. Tetapi, tunggu dulu. Perlakuannya tentang janji itu tidak membuahkan hasil?

Dan usaha mereka selama ini ... sia-sia?

→ × ←

Dedaunan kering jatuh keatas tanah, semilir angin berembus, lantas bulu kuduknya meremang seketika. Jalanan setapak dan disamping kanan kirinya terdapat tembok menjulang tinggi sukses membuat kesan horor tersendiri.

Satu anak panah melesat cepat melewatinya—ketika kaki kanan melangkah maju. Laki-laki itu mengembuskan napas lelah. Berjalan cepat melewati satu-satunya jalan dan membuka pintu cokelat tua itu.

Ia melihat Nadine disofa sembari meminum wine. Ketukan sepatu pantofel dilantai membuatnya menoleh. Perempuan itu tersenyum. “Hey, keadaan sekolah gimana?”

Bahunya terangkat, acuh. “Seperti biasa. Tapi keempat siswa jenius itu punya rencana baru,” ujar Gelamorie mendudukkan dirinya disamping Nadine.

“Bagus, lah. Semakin lama mereka juga sadar. Kalau musuh terbesarnya—”

Perkataan Nadine terpotong ketika jari telunjuk Gelamorie diletakkan dibibirnya. Meraih satu gelas wine lainnya dan meminumnya tandas. Jakunnya naik turun—senyuman sekilas terbit diwajah perempuan itu.

“Sayangnya. Zeca tidak bisa mendapatkan jawaban dari semua permasalahannya.” Ia memutar-mutar barang digenggaman. Tatapan memelas terukir diwajahnya, perempuan itu melepas kalung bersimbol anak panah yang melekat dileher.

“Apa dirinya sama-sekali tidak menyadari, siapa hubungan darah yang begitu kuat baginya?” papar Gelamorie. Atensinya terkunci pada foto Nadine yang mengendong anak kecil waktu berumur 3 tahun.

Laki-laki itu mendesah lirih. Mengusap wajah dengan kasar dan mengusap lembut rambut hitam Nadine. “Akan ada saatnya. Dan saya siap menjadi pengacara untuk mengurus semua ini.”

“Waktu terus-menerus berjalan. Dan manusia akan menunggu kejadiannya saja.”

[✓] Four GeniusesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang