XII

29 9 0
                                    

Orang-orang itu berjalan dari balik panggung. Aku hampir tidak menyadari kehadiran mereka kalau bukan dari langkah kaki. Mereka bertujuh berbaris di sampingku dan Driya, tak ada satupun wajah yang kukenali.

"Pastinya kalian bertanya-tanya siapa mereka ini," ujar Thomas. "Jangan khawatir, kalian akan segera tahu. Atau barangkali, ada beberapa dari kalian yang sudah kenal?"

Tidak ada jawaban. Thomas meminta pemuda pertama untuk menggantikan tempatnya di podium. Melihat interaksi Thomas dengan orang-orang ini membuatku merasa aneh, entah kenapa.

"Aku Ken," kata pemuda itu. "Sewaktu berusia tujuh tahun, aku pernah hampir mati ketika bermain dengan temanku, Kristina Swan."

Semua orang dalan ruangan kembali berkasak-kusuk. Ken melanjutkan, "Kristina seorang pengendali es, dan dia menjadikan seisi kamarnya sedingin kutub utara, memaksaku ikut bermain ke dalamnya. Kalau tidak dia mengancam akan membekukan kedua orang tuaku." Ken melayangkan pandangan ke kerumunan. "Aku terkena hipotermia parah dan nyaris mati kalau terlambat diselamatkan."

Pandanganku dan Driya bertemu ketika kami mulai menyadari apa yang sedang Thomas lakukan. Kristina Swan memang masih menempuh masa wajib bertugas di Hunter, setahun lebih tua dari kami.

Berikut, seorang gadis naik ke panggung. "Aku Priyanka," ujarnya. "Saat berusia enam tahun, seorang Homirium bernama Anne bertengkar denganku karena aku tidak meminjamkan bonekaku padanya. Malamnya, dia menjadikan kamarku seperti hutan, dengan berbagai macam tumbuhan di dalamnya. Aku nyaris mati dalam tidurku akibat kehabisan oksigen."

Ditenggelamkan, ditimbun tanah, dilempar dari lantai dua, bahkan disetrum. Semuanya masuk dalam daftar. Aku berharap bisa kabur sekarang juga meski tak pernah melakukan apapun pada siapapun. Rasa canggung itu tetap ada, apalagi setiap kali aku menoleh ke Driya.

Keributan sudah menyeruak dalam aula. Semua orang berteriak, menyuruh Thomas dan teman-temannya untuk pergi. Aku dan Driya masih berdiri seperti orang bodoh di atas panggung, tak berani bergerak sebab Morda terus bergerak di belakang kami, seperti sedang menunggu diberi izin untuk menyerang.

"Sabar semuanya!" Thomas berkata. "Satu orang lagi dan kita keluar. Bagaimana?"

Kerumunan tak kunjung meredakan keributan. Aku dan Driya berjengit sewaktu Morda di belakang kami kembali menerjang tanpa ampun ke bangku terdepan, meraup dua tubuh lagi dan menjilati darahnya sampai puas. Teriakan membahana di seluruh penjuru aula.

"KUBILANG SATU ORANG LAGI!" Thomas berteriak. "SEMUANYA DIAM!"

Aku menoleh ke samping, mengamati satu orang yang belum dipanggil. Samar-samar kulihat ada bercak aneh di bagian kiri wajahnya. Lalu kusadari bercak itu adalah bekas luka bakar yang sudah memudar, tetapi masih menampakkan gurat-gurat samar di wajah.

Seisi aula tak lagi berkutik. Morda di depan kami masih asyik menjilat darah sampai tuntas. Driya memalingkan wajah, tak ingin melihat pemandangan itu lama-lama. Serangan tadi bermula dan berakhir begitu cepat sampai kami berdua pun tak sempat melakukan apapun.

"Nah, bagus, bagus," Thomas mengangguk-angguk senang. "Ayo, Yohan. Tinggal kau yang belum."

Sama seperti orang-orang sebelumnya, ia bicara begitu lembut pada pemuda itu, seakan bicara pada adik-adiknya sendiri. Pemuda itu—Yohan—berjalan canggung ke arah podium. Tiap langkahnya dihujani oleh tatapan penuh kengerian bercampur kebencian.

"Aku Yohan," dia berucap gagap akibat kegugupan yang tak dapat ditutupi. "Aku berasal dari Panti Asuhan Marianne. Dulu aku dan temanku, Bryan, pernah bermain bersama."

Jantungku hendak keluar begitu mendengarnya bicara. Bryan berasal dari Panti Asuhan Marianne.

"Bryan memamerkan kekuatan apinya, dan keteledorannya membuatku menderita luka bakar." Yohan menyentuh wajahnya. "Aku harus menunggu seminggu sampai kepala panti mampu memanggil penyembuh. Sementara Bryan sudah dijemput untuk masuk dalam organisasi Hunter. Orang-orang dari organisasi menyuruhku diam atau mereka tidak akan membantuku sama sekali."

Ucapan itu membuatku membeku. Bola mataku bergerak menyusuri kerumunan. Sejak tadi, tak ada satupun Homirium yang namanya disebut memprotes pengakuan-pengakuan tersebut. Bahkan Bryan, tak kudengar suaranya membantah. Ruangan terlalu gelap pada bagian kursi penonton, mempersulitku mencari keberadaan pemuda itu.

"Dalam waktu satu jam, kuharap nama-nama yang barusan disebutkan sudah berada dalam daftar untuk dieksekusi lusa nanti," ujar Thomas. "Atau, kalian bisa abaikan kami dan biarkan para Morda menyelesaikan tugas mereka. Pastinya darah dari seisi kota cukup untuk mengenyangkan mereka setahun ini sebelum berpindah ke kota lain."

Napasku tertahan cukup lama sehingga aku mulai merasa sesak. Tak seujung kukupun mampu kugerakkan. Thomas menaruh jeda. "Ah, dan jangan lupa sertakan adikku ke dalam daftar buronan."

"Tidak," aku menjawab keras. Terlalu keras, mungkin.

"Tidak?" Thomas berjalan ke arah kami, cukup cepat sampai-sampai aku terkejut melihatnya sudah beberapa meter di depanku. "Kau tidak mau Driya dibunuh?"

"Tidak," balasku, lagi-lagi terdengar terlalu keras untuk diriku.

"Kau mau jadi pahlawan, Alika?" Thomas menyentuh dadanya. "Sungguh baik, aku sampai terharu. Nah, ada lagi yang ingin memaafkan para Homirium ini?"

Tujuh orang yang masih berada dekat podium diam seribu bahasa. Thomas berseru ke arah kerumunan, "Kalian bisa pergi sekarang!"

Kerumunan demi kerumunan mulai meninggalkan aula, disertai adu mulut yang tak tertahankan. Mereka saling maki, beberapa hendak segera adu fisik jika tidak dihentikan oleh temannya. Thomas cuma terkikik di sebelah kami, seperti sedang menyaksikan acara komedi. Aku bertanya-tanya, sudah berapa lama dia merancang rencana ini? Berapa persen persamaan angannya dengan semua kenyataan ini?

Thomas dan teman-temannya keluar paling terakhir. Kulihat kerumunan itu saling memberi tepukan di punggung, bangga dengan apa yang telah mereka lakukan. Aku diam di tempat, sekalipun Morda yang lewat di sebelahku membuat buku kudukku meremang, aku tidak mengindahkannya.

Aku tidak tahu bagaimana ceritanya tangisku pecah. Tahu-tahu saja aku terisak di panggung seperti anak kecil. Rasanya Morda tadi menancapkan taringnya di tubuhku dari depan dan belakang, menembus jantung serta organ-organ lain, namun aku masih dipaksa hidup untuk merasakan tiap detik penderitanya.

"Kau menyesal sekarang karena tidak menyerahkanku pada mereka?" Suara Driya membuatku teringat pada keberadaannya. Aku meraup bagian depan bajunya, nyaris menjatuhkan Driya yang tak siap dengan cengkraman itu.

"Mereka akan membunuh Bryan dan yang lain," desisku, mengguncang tubuh Driya. "Bisakah sekali saja kau tidak mengeluarkan ocehan bodoh sok aroganmu itu? Aku muak mendengarnya. Sejak kecil aku begitu muak sampai berharap bisa memotong lidahmu."

Tenggorokan Driya bergerak menelan ludah. Tatapan angkuh itu nampaknya masih belum runtuh juga. "Kalau muak denganku, kenapa tidak sertakan aku bersama mereka yang akan di eksekusi?"

"Karena aku membencimu!"

Driya mengerut keningnya sedikit. Aku menghempasnya menjauh, mencoba mengusap air mata. Kuremas pakaianku sendiri di bagian dada, mencoba mengusir siksaan dalam diriku. Akan tetapi, aku sudah digerogoti dari dalam. Kuharap kepalaku pecah saja supaya tidak perlu melihat apa yang akan terjadi nantinya.

"Aku sangat membencimu, Driya," aku mengulang kalimat itu. "Saking bencinya aku tidak mau jadi orang sekejam dirimu. Bagiku, membunuhmu adalah hal paling menjijikkan, membuatku lebih buruk darimu."

Kutinggalkan Driya sendirian di panggung. Selagi Morda belum membinasakan kota ini, aku ingin bertemu orang tuaku.

The Other Side of FallwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang