III

55 13 0
                                    

"Sayang."

"Ya?" Aku menegakkan tubuh ketika Bryan memanggilku demikian. Biasanya orang lain akan senang jika kekasihnya memanggil dengan sebutan manis seperti itu. Dalam kasusku, panggilan 'sayang' dari Bryan sama artinya dengan 'kita perlu bicara', yang mana bukan pertanda bagus.

"Kau dan Driya sudah bertetangga sejak kecil, kan?"

"Iya, bukankah pernah kuberitahu?"

Bryan mengangguk. "Kalian saling kenal saat masih kecil?"

"Tidak terlalu," aku membalas sambil mengusap hidung. "Lagi pula waktu itu aku cuma anak biasa, tidak selevel dengannya." 

Pada usia enam tahun, umumnya Homirium akan mengetahui jenis kekuatan mereka. Itu hal normal yang terjadi pada Driya. Sementara ketika seusia dengannya, aku masih manusia biasa tanpa kekuatan apa pun.

Tetapi ketika berusia sepuluh tahun, tepat di usia ketika Homirium mulai meninggalkan sekolah umum dan bergabung dengan Hunter, keadaan berubah. Ditambah aku lahir dari orang tua biasa pula, sehingga tidak sekalipun terlintas dalam benak kalau aku akan jadi seperti sekarang. Kasus seperti ini tidak spesial, mengingat beberapa temanku juga demikian. Ada pula agen dari keluarga biasa yang baru mendapatkan kekuatannya ketika berusia dua belas. Hanya saja, semua ini benar-benar tidak terduga.

"Tapi kalian kenal satu sama lain?"

Kucoba untuk menepis setiap kenangan mengenai Driya yang barangkali akan membuatku merasa tidak nyaman. "Aku kenal dia."

Siapa yang tidak kenal Driya di lingkungan perumahan ini? Anak dari pasangan Homirium yang cukup terkenal, dengan sosok ayah yang merupakan salah satu pimpinan Hunter; Ibunya pun dulunya salah satu pengendali api terbaik. Belum lagi, kepiawaian Driya dalam mengendalikan logam menjadikannya sebagai salah satu peserta didik terbaik di Hunter.

Di menit-menit setelahnya, Bryan semakin tidak fokus pada film yang tengah kami saksikan. "Sejak dulu kau dan Driya mengabaikan satu sama lain, padahal dia selalu bergaul dengan semua anggota Hunter dengan peringkat terbaik."

"Soalnya dia sudah punya terlalu banyak teman," aku menjawab asal.

"Kita sudahi saja basa-basi ini, Alika. Bekas luka di rahangmu berasal dari mana?"

Aku mengedik. "Benda tajam."

"Driya yang melakukannya?"

Aku tidak menjawab. "Terlalu cepat itu menyimpulkan. Benda tajam banyak jenisnya."

Kuremas selimut lebih erat. Entah kenapa aku terus mengelak kendati jawabannya yang sangat jelas, seolah membenarkan dugaan Bryan hanya membuatku kembali mengingat peristiwa itu. Detak jantungku perlahan mulai menambah kecepatannya. "Bryan, aku tidak mau membicarakannya sekarang."

Menatap Bryan adalah sebuah kesalahan, karena pandanganku mulai mengabur. Kucoba memalingkan wajah dan berkedip cepat agar tidak ada air mata yang mengalir. Selimut dalam genggamanku semakin kusut, dan kuharap Bryan tidak melihatnya.

"Kita bicarakan ini kalau kau siap." Dia meraih tanganku yang masih mencengkram selimut, mengusapnya lembut.

"Haruskah?"

"Tidak juga, tapi akan lebih baik kalau kau bercerita. Dalam benakku saat ini, ada berbagai kemungkinan mengenai apa yang dulu terjadi antara kau dan Driya, dan tidak ada satu pun pikiran yang kusukai."

Aku membalas genggaman tangan Bryan. "Bukan hal yang buruk-buruk amat." Aku mengusap hidungku. "Omong-omong, pada awal bergabung dengan organisasi, kau dekat dengan Driya, bukan? Itu lumayan aneh, mengingat sekarang kau memutuskan meninggalkan lingkaran pertemanannya."

The Other Side of FallwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang