Dimana Ada Ara Selalu Ada Asa

106 12 2
                                    

Gadis berkerudung lebar berwarna navy itu masih setia dengan laptopnya. Kacamata bertengger dengan cantiknya di hidungnya dan jemarinya dengan begitu lincahnya menari-nari di keyboard laptop seolah membuatnya tenggelam dalam suasana menenangkan yang dia ciptakan sendiri itu. Di temani dengan segelas cappuchino hangat dan seporsi kentang goreng kesukaannya, itu sudah sangat menambah ketenangannya malam ini. Setidaknya untuk satu jam pertama sejak dia duduk di kafe depan kampusnya itu. Hingga tiba-tiba dia mendengar suara yang sangat dia kenali dan itu jelas sangat mengganggunya.

"Araa!"

Suara cempreng itu sangat dia kenali. Tanpa mengalihkan fokusnya dari laptop pun dia sangat tahu siapa sosok pemilik suara cempreng itu. Bergaya pura-pura tidak mendengar panggilan itu, Ara- si gadis manis dengan kacamata minimalis itu terus melanjutkan aktivitasnya. Baginya menyelesaikan proposal kegiatan Islamic Fair kampusnya lebih penting daripada mendengarkan curhatan si pemilik suara cempreng tersebut. Bagaimana tidak, curhatan lelaki itu selalu sama sejak enam bulan terakhir. Bahkan terlalu rutin setiap hari kamis. Apalagi kalau bukan berisi curhatan mengenai kebucinan pemilik suara cempreng itu tentang kekasihnya. Oh tidak, bagi Ara, para bucin itu sangat mengganggu konsentrasinya.

Namun pada akhirnya, Ara akan kalah. Tentunya dengan paksaan. Seperti sekarang, secara tiba-tiba laptopnya ditarik paksa dan tentu saja Ara langsung menyembur kekesalan pada lelaki yang sekarang justru menampilkan wajah tidak bersalahnya.

"Kamu mau mati, Sa?"

Seperti biasa, Asa- lelaki pemilik suara itu tersenyum lebar pada Ara. Bahkan tanpa merasa bersalah meletakkan laptop kesayangan gadis itu tepat di sampingnya.

"Sadis amat sih, Bu."

"Apa lagi? Kalau nggak penting-penting banget mendingan kamu pergi sana. Aku lagi sibuk."

"Aurora Faramadina, sahabatku yang paling ku sayangi, aku harap kamu bisa mendengarkan ceritaku yang indah malam tadi." Ara tahu itu hanya kalimat pembukaan sebelum Asa memulai curhatan alay dirinya dengan kekasihnya. "Kamu tahu, malam tadi akhirnya aku sama Bianca-"

"Lamaran?"

Wajah sumringah Asa langsung berubah jengkel. Sedangkan Ara menatap Asa dengan tatapan tidak bersalah. "Bukan, Ra. Bukan lamaran. Sabar dulu. Aku bakalan ceritain detailnya." Ucap Asa dan hanya ditanggapi deheman Ara berikut dengan Ara yang sibuk mengaduk minumannya.

"Setelah hampir enam bulan aku hanya bisa ngapel Bianca di teras rumah, akhirnya tadi malam aku berhasil ngajak dia keluar. Kita pergi nonton di bioskop, Ra. Berdua." Kata Asa bahagia.

Kini Ara percaya, bahagia itu memang sederhana. Seperti Asa sekarang, terlalu bahagia hanya karena akhirnya bisa mengajak Bianca, kekasihnya yang baru enam bulan ini resmi menjadi pacarnya, ke bioskop. Ara paham, kali ini kekasih Asa agak berbeda dengan mantan-mantannya yang dulu. See, sahabatnya ini memang adalah seorang playboy yang sangat menyombongkan dan bisa memanfaatkan kelebihan fisik yang dimilikinya untuk menjadikan gadis manapun kekasihnya. Parahnya, walaupun label playboy itu sudah terselip nyata di kening Asa, masih banyak gadis-gadis di kampusnya yang antri mau menjadi pacarnya.

Namun kali ini Ara agak sedikit respect pada kekasih baru Asa bernama Bianca tersebut. Catat baik-baik, hanya sedikit. Jadi hanya naik tingkat sedikit dari para mantan Asa yang bejibun itu. Bianca Amalia, adalah mahasiswi semester lima jurusan manajemen bisnis dan satu organisasi dengan Ara dan Asa. Gadis itu memang cantik nan lugu, baik dan lembut. Sayang, Ara tidak melihat ketulusan dari mata Bianca untuk Asa. Menurut Ara, Bianca itu adalah tipikal perempuan yang hanya bersembunyi di wajah lugunya. Tapi setidaknya, Bianca bukanlah gadis yang suka menghabiskan waktu di tongkrongan di malam minggu dan kamis. Untuk mengajak gadis itu keluar malam, butuh usaha yang keras. Maklum, papanya Bianca galak dan sangat protektif. Kata Asa begitu.

Tentang RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang