Semburat mentari senja nampak menghiasi langit Desa Erish sore ini. Nampaknya matahari akan segera tenggelam. Aku mempercepat langkah kakiku, berjalan tergesa menuju rumah.
Berjalan malam hari di sebuah desa sangat merepotkan, kau akan kehilangan cahaya alami untuk menerangi jalan. Penerangan yang berasal dari pemukiman warga pun tak dapat diandalkan, antar rumah tak saling berdempetan karena dipenuhi oleh kebun dan pepohonan. Karena itulah, memangkas waktu dengan berlari adalah suatu keharusan!
Sejenak, merenung dan menertawai kalimat spontanku— dengan tetap berlari, tentu saja. Apa matahari benar-benar tenggelam, atau kita yang tenggelam? Bukankah kita yang selama ini berputar mengelilingi matahari? Namun mengapa kita menyalahkan ketiadaannya saat menjelang hari padahal ia hanya berdiam diri?
Entahlah, karena akupun turut merutuknya disaat-saat begini.
Tungkai ini masih setia bergerak sesuai keinginanku, berlari menembus senja. Sekarang langit semakin menggelap, warnanya tampak jingga keunguan. Apa itu pertanda langit sedih sebab ditinggalkan matahari? Sayangnya tidak, warna langit dihasilkan dari cahaya polikromatik matahari yang terdispersi oleh partikel penyusun atmosfer bumi.
"Hah..." Aku menghela nafas, tiba-tiba menjadi melankolis.
Betapa beruntungnya kita, Sang Pencipta menjadikan matahari tanpa mulut. Bagaimana bila dia bermulut seperti manusia? Apa dia akan murka? "Bedebah! Kau tak memberiku apa-apa saat aku menyinarimu, lalu mengapa kau mengutukku bila aku menghilang?!" Mungkinkah ia akan mengumpat manusia balik seperti itu? Aku merinding membayangkannya, segera menggelengkan kepala dan menarik kesadaranku.
Tanpa terasa kini kakiku telah berhenti tepat didepan pagar rumah. Membuka pagar kasar dengan nafas terengah-engah, kulangkahkan kaki menuju pintu utama.
Persetan dengan mulut matahari, mulutku lebih butuh perhatian saat ini. Perhatian berupa asupan makanan bergizi! Batinku berteriak.
.
Usai membersihkan diri dan memberi perhatian khusus pada si mulut, sekarang tugasku juga butuh perhatian. Aku harus membuat laporan, pekerjaan sebagai dokter residen yang ditugaskan di desa ini adalah penyebabnya. Namun, tak apa. Aku menyukai pekerjaanku. Tapi tidak dengan desanya. Meringis, aku mulai menyalakan laptop dan berkutat dengan laporan.
Suara ketikan jemari menguasai pendengaranku, malam semakin larut. Ketika hampir menyelesaikan laporan, terdengar suara ketukan dari arah pintu.
Tok. Tok. Tok.
Siapa yang bertamu?
Menuju jendela berniat mengintip sedikit melalui celah gorden, jantungku berdegup was-was. Siapa yang berkunjung dilarut malam begini? Segala kemungkinan buruk tengah bercokol dikepalaku.
Sebagai seorang dokter, panik adalah kata terlarang. Bagaimana pasien dapat mempercayaimu bila dokter yang menanganinya saja tidak mempercayai dirinya sendiri?!
Karena itu, mencoba menanamkan afirmasi positif diotakku, kuucapkan kalimat berulang untuk meneguhkan hati. Itu manusia. Itu manusia. Itu manusia.Hell, kau pikir itu hantu!? Penjahat bahkan lebih mengerikan dari hantu!
Kugelengkan kepalaku, mengubah kalimat berulang itu menjadi hantu tidak buruk. Hantu tidak buruk. Hantu tidak buruk.
Entah siapa yang bodoh disini. Dua sisi otakku sedang berdebat sekarang, kepalaku pening dibuatnya. Apa begini tindakan seorang dokter? Wah, tanpa sadar aku mengatai diriku sendiri.
Tok. Tok. Tok.
Pintu kembali diketuk dan itu mengembalikan kesadaranku. Kali ini benar-benar mengintip melalui celah gorden, dan tampak seorang lelaki yang kukenal berdiri.
Aku segera menuju pintu. Ini tidak seperti yang ada dipikiranku. Hantu atau penjahat, itu jelas bukan keduanya. Nampaknya tubuhku merasa ini lebih menyeramkan karena degup jantung yang telah berdegup kencang menjadi lebih kencang lagi. Atau mungkin tidak? Karena kali ini ada kupu-kupu terbang dibagian perut yang menyertai. Mendebarkan, namun menyenangkan.
Saat pintu telah terbuka, mataku disambut oleh tubuh menjulangnya. Nampak kokoh, berdiri disitu. Didepan rumahku.
Rambutnya berantakan tertiup angin malam, senyumnya merekah sampai mencapai pipi. Matanya berbinar memandangiku. Sejenak aku terpana. Oh, ternyata matahari benar-benar memiliki mulut.
"Hoseokie?"
Alih-alih mengumpat, matahari itu menggunakan mulutnya untuk tersenyum ke arahku.
"Apa kau sudah terlelap? Aku ingin mengajakmu melihat bintang."
Sekilas terlihat bulan dibelakangnya ikut bersinar saat dia berbicara, bertengger lurus sejajar dengan wajah pria yang masih tersenyum dihadapanku ini. Matahari, bulan...
Sekelebat aku mengingat seminar cosmologi dulu, gerhana terjadi bila bumi berada di antara matahari dan bulan pada satu garis lurus yang sama.
Maka bila aku memeluknya sejajar diantara jarak ia dan bulan, akankah itu menjadi gerhana? Batinku terkekeh miris.
"Ya, tentu saja..."
Entah itu untuk menjawab ajakan melihat bintang, atau ajakan menjadi gerhana.
-FIN-
*Dispersi : Fenomena penguraian atau pembiasan warna.
**Afirmasi Positif : Pernyataan positif atau kalimat yang ditujukan untuk diri sendiri yang bisa memengaruhi pikiran bawah sadar.
Note: Cerita ini dibuat karena gabut. Terima kasih sudah membaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amon-Ra
FanfictionBagaimana bila matahari memiliki mulut? Apa dia akan murka? "Bedebah! Kau tak memberiku apa-apa saat aku menyinarimu, lalu mengapa kau mengutukku bila aku menghilang?!" Mungkinkah ia akan mengumpat manusia balik seperti itu?