1963. Aku menari di lingkaran kolotnya pemikiran, menanam pohon impian yang tak sama sekali bisa tumbuh. Berjalan mengitari ruas roda, terjebak dalam putaran patriarki. Citaku, menjadi Ibu Kartini, tetapi apa daya; lingkungan menjajah diriku. Liukan angin kesuksesan menerpa jantungku, tetapi apa daya; potensi tergerus kasta sosial. Alasan konyol; memang zaman biadab. Orang bodoh dianggap pintar, orang pintar dianggap bodoh. Anak perempuan tumbuh menjadi gadis, menikah, memiliki keturunan lalu meninggal, terperangkap di ruang nekrosisnya dangkal pikiran. Masa depanku terkilir, ini bukan zaman tepat untukku. Hanya ada luka batin, dipecut rantai manusia kotor. Empedu duniawi ku makan, tergenang obat dalam jiwaku, beradaptasi dengan gilanya hidup. Spontan aku berbicara, "Celaka diriku---yang mempunyai mimpi setinggi langit---." Apakah seorang Wanita di negeri ini; tidak boleh menjadi dokter? Alangkah merakbal semuanya; melodi kehidupan mengiringi kakiku melangkah. Tanah Pasundan menjadi saksi bisu sebuah iring-iringan cengkraman angkara murka stigma tua. Tak terpikir, darah perjuangan dibalas darah kenestapaan dan kehancuran ideologi. Ikuti kisahku; memancarkan fosfor di pikiran manusia agar bisa bertumbuh ... dalam Melodi Sabilulungan Kahirupan. Akan aku buktikan; tahun 2000, aku sudah menggapai langit dengan tanganku. [AMBIL BAIKNYA, BUANG BURUKNYA:)]
7 parts