Jaeyun menemukan Heeseung kecil menangis menjerit-jerit di pelukan tubuh kaku ibunya yang membiru. Wanita muda itu terlelap damai dengan sisa-sisa reruntuhan puing dari rumahnya yang hancur. Malam itu bulan separuh. Dengan gemintang yang bertabur di kaki langit. Begitu cantik dan damai. Berbanding terbalik dengan gemuruh dari peperangan yang meletus sebab serangan dari kerajaan sebalah. Denting pedang, anak panah meluncur di udara bagai bintang jatuh. Suara lolongan, erangan, juga teriakan terdengar dari segala penjuru. Lalu, tatkala Jaeyun menyaksikan seorang prajurit dengan lambang kerajaan lawan hendak menyalakan sebuah meriam untuk memporak-porandakan mereka semua, Jaeyun segera meraih tubuh mungil Heeseung dalam dekapnya. Destinasi Jaeyun adalah hutan, ia terus berlari dengan Heeseung yang masih tersedu-sedu di dadanya. Jemari mungil mengais fabrik yang Jaeyun kenakan hingga kusut. Mungkin bayi delapan bulan itu ketakutan setengah mati, atau mungkin kelaparan ingin mereguk asi dari ibunya. Jaeyun kalut, dia hanya mampu untuk terus berlari menjauhi pemukiman. "Apa yang Jaeyun lihat dari dia?! Aku juga bisa melakukannya! Selama ini aku menjaga Jaeyun. Membantu Jaeyun dalam segala hal. Aku bisa berburu, mencari tanaman obat, sedikit melakukan aktivitas dapur, apalagi yang kurang dari aku?! Dia hanyalah putra penjajah tamak yang bergantung dari layanan orang lain! Pesakitan yang bahkan tidak akan mampu membawa Jaeyun berlari ketika bahaya mengintai. Sedangkan aku ... aku bahkan bisa membunuh mereka semua untuk keselamatan Jaeyun!" sepat Heeseung dengan kilat amarah yang terpancar jelas di sekembar obsidian kelamnya, tatkala Jaeyun bahkan baru saja menanggalkan baju hangat untuk digantung di balik pintu. "Oh Heeseung ... sayangku, kamu memanglah begitu baik." ucapnya seraya menghambur ke arah Heeseung yang kini telah tumbuh begitu tinggi dan jantan di usia remajanya. "Tetapi kamu tidak bisa, sayangku. Kita tidak bisa. Tolong mengertilah."
5 parts