"Dari seluruh musim, aku paling menyukai musim dingin."
Jaeyun yang semula tengah menunduk, sibuk meracik tanaman herbal untuk kemudian ia tuang dalam gelas keramik hanya mampu mengelim senyum mendengar penuturan sang Putra Mahkota. Atensinya tetap pada racikan herbal, sementara sebuah kekehan lembut lolos dari setangkup ranumnya yang kering sebab udara musim dingin yang kering. Membuat isi lambung sang putra mahkota terasa teraduk dengan begitu menyenangkan. Seolah menu makan malam yang beberapa saat lalu dirinya santap kini menjelma menjadi milyaran kupu-kupu yang terbang di dalamnya. Menggelitik relung dengan ujung-ujung sayap rentan mereka yang mengepak dengan suara senyap.
Oh, dirinya benar telah jatuh cinta!
Suara gemericik air yang dituang mengisi sunyinya petak kamar luas milik sang putra mahkota setelah lama kekehan Jaeyun surut. "Kenapa begitu, Yang Mulia? Bukankah Yang Mulia menyukai aktivitas di luar ruangan? Musim dingin hanya akan memaksa Yang Mulia untuk terus berada di dalam ruangan, benar?" tanya Jaeyun bersama senyum teduh di wajahnya seraya mengangsurkan cangkir keramik dengan bau menyengat berwarna hijau kehitaman yang pekat.
Cerah di wajah rupawan milik sang putra mahkota lantas dilintasi mendung melihat pemandangan itu. Hidungnya yang bangir berkerut-kerut di pangkalnya. Meski ini sudah menjadi makanan sehari-hari dari hampir setengah kehidupannya, namun tetap saja, dirinya tidak akan pernah menjadi terbiasa akan rutinitas meminum obat.
Jaeyun kembali terkekeh. Ia mengambil telapak lebar yang terasa begitu hangat milik pemuda yang kastanya lebih tinggi. Lalu meletakkan cangkir keramik di atasnya. "Yang Mulia harus segera sembuh agar dapat segera dilantik. Raja akan sangat bergembira untuk itu. Saya melihat beliau adalah satu-satunya yang begitu tulus menyayangi Yang Mulia dan mengharapkan kesembuhan Yang Mulia."
Ada banyak deretan putri dari berbagai kerajaan yang telah berkunjung dan menemuinya selama ini. Mencoba melempar dadu, dan berharap keberuntungan berada di pihak mereka, agar nantinya kerajaan mereka dapat terlibat aliansi dengan kerajaan yang ayahnya telah perluas hingga sedemikian megah, kokoh tak terkalahkan selama berpuluh tahun. Akan tetapi, ia tidak pernah menemukan tatapan yang serupa dengan bagaimana cara sekembar manik mahoni itu menyeka jiwanya yang selama ini meringkuk tersedu-sedu dalam kegelapan.
Shim Jaeyun, hanya tabib berhati emas itulah satu-satunya. Meski hanya berpenamilan begitu sederhana (ia selalu mengenakan hanbok putih polos yang saking usangnya hampir tampak seperti warna krem, juga tanpa riasan sedikitpun yang memoles wajahnya yang seolah dipahat Tuhan seraya tersenyum-senyum) perangainya yang begitu lemah lembut melebihi gerak-gerik seorang bangsawan, vokal halusnya tatkala bertutur, sorot matanya yang lelalu memancar redup, jangan lupakan juga bibir merah mudanya yang akan selalu terkelim, dan yang paling penting adalah tujuan mulianya dalam menjalani hidup ... hanya dengan alasan-alasan sederhana semacam itu hati sang puta mahkota dapat begitu mudahnya diluluhlantakkan.
"Yang Mulia?" vokal halus itu kembali mengisi rungunya yang entah sejak kapan kehilangan fungsinya jika itu telah bersangkutan dengan mengagumi dan memberi puji-pujian atas paras elok seorang Shim Jaeyun. "Anda baik-baik saja? Tenggorokan anda masih terasa panas? Atau dada anda masih terasa sesak? Ada keluhan dengan otot kaki atau tangan anda?"
Sama seperti biasanya, Jaeyun akan selalu mencercanya dengan berbagai pertanyaan terkait permasalahan kesehatannya alih-alih menanyakan apakah ada sesuatu di wajahnya, hingga dia dapat ditatap sebegitu intens selama bermenit-menit oleh putra mahkota.
Mungkin Jaeyun sebenarnya telah tahu itu. Tentang agenda mengagumi parasnya yang selalu putra mahkota lakukan secara gamblang selama ini. Itu hanya spekulasi, sebenarnya. Akan tetapi, dengan hadirnya rona samar sewarna kelopak sakura yang menyapu permukaan pipi sang tabib, putra mahkota pikir, ia tidaklah keliru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Salvia
FanficJaeyun menemukan Heeseung kecil menangis menjerit-jerit di pelukan tubuh kaku ibunya yang membiru. Wanita muda itu terlelap damai dengan sisa-sisa reruntuhan puing dari rumahnya yang hancur. Malam itu bulan separuh. Dengan gemintang yang bertabur d...