We shouldn't be like a crime; you're mine.

131 18 9
                                    

Hal yang pertama kali Jaeyun dapati tatkala dirinya membuka daun pintu adalah Heeseung yang sedang berjongkok di depan perapian. Memasukkan ranting-ranting dalam keterbisuan. Sementara pakaiannya yang semula terlihat serba berat terlah ia tanggalkan, berganti dengan hanbok sederhana yang selalu dapat mengingatkan Jaeyun tentang sosoknya yang dahulu dapat dengan mudah Jaeyun sentuh dan buai hatinya hanya dengan bersenjatakan kalimat manis. Jaeyun edarkan manik matanya, melihat pedang Heeseung seperti biasa telah pemuda itu baringkan tepat di sisi Heeseung biasa terlelap di futon yang keduanya bagi bersama.

Satu hela napas berat lolos dari bibir Jaeyun yang kering. Membawa sebongkah perasaan mengganjal di dalam dadanya keluar barang sedikit, meski orang bilang, menghela napas semacam itu sama dengan mengurangi satu kemungkinan kebahagiaan yang kita miliki. Persetan. Jaeyun bahkan telah lama skeptis pada satu kata bertabur gula itu. Mitos, menurutnya.

Sementara di sisi lain, Heeseung tampak melemparkan ranting panjang yang semula ia gunakan untuk mendorong ranting-ranting kecil yang ia masukkan ke dalam perapian agar turut terbakar bersama ranting lainnya. Kedua telapaknya mengepal di atas lutut yang tertekuk bersama lekumnya yang naik-turun, menimbang apakah memang dirinya perlu untuk meluapkan seluruh kesahnya pada yang lebih tua. Atau, terus memendam seluruh pahit yang bercokol di dasar hatinya selama ini hingga entah kapan Heeseung tak tahu, sebab ego yang ia miliki.

Akan tetapi, satu kalimat tanya itu terus meneror Heeseung selama dirinya mati-matian mempertahankan dinding yang selama ini susah-payah Heeseung buat.

Ingin sampai kapan?

Sampai kapan Heeseung dapat berserah diri pada fakta bahwa Jaeyun akan terus memandangnya dengan sebelah mata, alih-alih seseorang yang mengusahakan apapun untuk dapat memiliki pria berparas elok itu?

Sampai kapan Heeseung dapat menahan panas di telinga juga hatinya, tatkala banyak mulut membicarakan Jaeyun dengan rumor yang sama di setiap kesempatan yang ada. Atau juga kalimat-kalimat tak senonoh yang sering rekan-rekannya sendiri gunakan sebagai lelucon manakala mata mereka memandang siluet Jaeyun yang berjalan begitu luwes berbalutkan sepotong hanbok putih yang sialnya tampak begitu serasi dengan figurnya. Membuat Jaeyun terlihat seperti seekor angsa putih yang meliuk-liuk anggun di atas kolam di cuaca mendung. Siapapun akan dengan begitu saja menjatuhkan atensi mereka padanya. Membuat dada mereka berdesir ingin untuk sekali saja menjamah dirinya yang tampak begitu misterius dan tak tersentuh.

Lalu, sampai kapan juga Heeseung akan membawa rasa membelenggu ini? Apakah hingga pada akhirnya dia akan mati konyol di medan perang bersama cinta terlarang yang sampai akhir hayat tak sempat dirinya tuturkan? Apakah hingga Heeseung akhirnya memutuskan untuk mengalah dan menyaksikan Jaeyun jatuh di tangan orang lain?

Bukankah dengan cara demikian egonya hanya akan semakin tercabik?

"Apa yang Jaeyun lihat dari dia?" tanya Heeseung memecah sunyi yang terasa begitu mencekik di antara keduanya. Vokalnya terdengar gamang, menggantung, dan bahkan seperti tak yakin dengan perkataannya sendiri.

Mendengar itu membuat pergerakan Jaeyun yang hendak melepas baju hangatnya terhenti. Gerak tangannya patah-patah, kebingungan juga dengan jawab apa yang nantinya akan ia beri pada yang lebih muda. Surai segelap jelaga milik yang lebih muda tampak menunduk dalam.

Jaeyun tahu.

Dia hanya berusaha sealami mungkin untuk menutupinya di hadapan Heeseung. Dan selama ini, itu benar berhasil. Entah karena usia Heeseung yang masih begitu belia dan sukar mengendalikan ego juga rasa yang dia miliki, sehingga pemuda itu tidak dapat melihat fakta yang ada. Atau mungkin, itu hanya karena Jaeyun yang begitu piawai dalam bermain peran.

Detik bergulir bersama atmosfer kelam yang menyelubungi mereka. Heeseung yang mencoba untuk mempertahankan kesabaran, lama-lama kehilangan kontrol atas dirinya juga, tatkala tak mendapat jawab atas tanya yang ia lontarkan pada yang lebih tua.

Blue SalviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang