Kisah Kucing Parkiran
(Catatan kecil dari kosan lantai dua)
Hujan turun pelan, membasahi halaman kecil di depan kos.
Langit kelabu menggantung rendah, dan di antara suara rintik dan bau tanah basah… ada satu suara lain yang ikut terdengar.
Mengeong. Kecil. Rapuh.
Tapi juga penuh harap.
Seekor kucing kecil muncul di parkiran.
Tak ada induk. Tak ada saudara.
Hanya dia dan dunia yang tampak terlalu besar.
Dia tidak basah, tapi pasti dingin.
Matanya mencari, kakinya ragu.
Namun saat seseorang mendekat, dia tidak lari.
Dia justru mendekat—seolah ingin berkata:
"Apakah kamu rumah bagiku?"
Aku bukan pahlawan, bukan pula penyelamat.
Aku hanya seorang penghuni kos biasa, yang tak bisa berpaling.
Kupikir, “Kalau dia bertahan di sini… setidaknya ada yang menjaganya.”
Maka kuberikan makan.
Sedikit nasi, sedikit hati.
Kupanggil tanpa suara, kuajak tanpa kata.
Dan dia… perlahan percaya.
Aku mencoba membawanya ke lantai dua.
Tangga menjadi gunung baginya.
Langkah kecilnya penuh keraguan,
dan setiap anak tangga seperti mengingatkannya akan kehilangan.
Satu-dua langkah ia ikut, lalu mundur, turun lagi.
Aku diam. Aku tunggu. Tapi dia memilih kembali ke tempat yang ia kenal: parkiran.
Tempat yang keras. Tapi baginya, tetap lebih aman daripada yang belum ia pahami.
Aku tahu, aku tak bisa menyelamatkan dunia.
Tapi mungkin… aku bisa menjadi dunia kecil yang aman untuk satu makhluk mungil.
Biar malam ini, saat hujan kembali datang,
dia tak merasa sendirian lagi.