Alkisah, pada suatu pagi di kaki gunung, langit separuh mendung menggantung rendah. Rumput-rumput masih basah oleh embun, dan suara tawa anak-anak memenuhi udara seperti kicau burung yang turun dari dahan.
          
          Di antara hiruk-pikuk itu, ada seorang pengasuh muda yang sibuk memastikan anak tetap berada di jalur outbound. Dia menatap ke kanan, ke kiri, ke depan, ke belakang, hingga matanya tersandung pada sosok yang tidak dia kenal.
          
          Dialah seorang penjaga jalur, hanya berbalut rompi lusuh, sepatu yang belepotan tanah, dan senyum yang tidak disengaja. Pemuda itu tidak mengangkat suara lantang, tidak menebar aba-aba gagah. Namun justru karena kesederhanaannya, menonjol di antara keramaian.
          
          Pengasuh muda itu hanya menatap sepersekian detik, tetapi detik itulah yang kelak dia simpan dalam botol kaca kecil di dalam kepalanya.
          
          Hari berganti. Anak-anak pulang dengan sorak-sorai, dan pengasuh muda itu ikut kembali ke dunianya sendiri. Dia tahu, kemungkinan berjumpa lagi dengan sosok ber-rompi lusuh itu hampir sama kecilnya dengan menemu kembali setitik embun yang telah jatuh ke tanah.
          
          Namun dia memilih tidak mengejar, tidak mencari nama, tidak menelusuri jejak di jagat maya. Baginya, tidak semua yang singgah harus menetap. Beberapa cukup menjadi misteri, harta karun kecil yang abadi karena hanya dia yang tahu.
          
          Maka tersimpanlah kisah itu, sebagai dongeng yang diceritakan pada dirinya sendiri, tentang seorang tuan tanpa nama, yang pernah hadir di antara tali dan rumput, lalu pergi meninggalkan jejak yang tidak akan benar-benar hilang.
          
          ꦢꦶꦲꦤ꧀ꦠꦫꦠꦭꦶꦤꦶꦱ꧀ꦫꦸꦩ꧀ꦥꦸꦠ꧀
          Nadi.