"Assalamualaikum!" ucap Hawa membuka proses belajar para santriwati. Senyumnya merekah menyejukkan siapa pun yang memandang. Ia memang memiliki masalah, tapi berbagi ilmu selalu saja bisa membuatnya melupakan masalah itu, walau hanya sejenak.
"Wa'alaikum salam." jawab para santri serentak dengan wajah yang memancarkan semangat untuk mendapatkan tetesan demi tetesan ilmu yang akan disampaikan Hawa.
Doa sebelum belajar pun dilatunkan, semua menengadahkan tangan tak terkecuali. Kemudian Hawa mulai menyampaikan secuil demi secuil apa yang pernah ia tuntut dulu.
Ditengah proses belajar tiba-tiba suara deringan hp membuat Hawa menghentikan proses mengajarnya. Semua santri memfokuskan pandangannya pada Hawa, mereka bertanya-tanya dalam hati siapakah yang menelfon ustazahnya kali ini? Kadang mereka memang bersikap terlalu ingin tahu segala hal tentang ustazah kesayangan mereka itu. Bahkan, tak jarang mereka menjodoh-jodohkan Hawa dengan Ustadz Irham yang merupakan putra semata wayang Kiayi Rohman sang pengasuh pondok pesantren Ar-Rohman.
"Eh maaf, mbak angkat telfonnya dulu ya," pamit Hawa tersenyum kemudian beranjak keluar kelas untuk mengangkat telfon itu.
Dilihatnya layar hp yang menampilkan nama Mas Agus. ia terdiam, ia menduga Mas Agus pasti akan meminta uang padanya hanya untuk kegiatan tak bergunanya itu. Tapi akhirnya ia memutuskan untuk mengangkat telfon itu. "Siapa tahu ada hal mendesak yang ingin disampaikan Mas Agus." pikirnya.
"Assalamualaikum!" ucap Hawa mengawali pembicaraan, sedangkan para santri sibuk mengintip Hawa dari jendela hanya karena rasa keingintahuan mereka yang sejujurnya amat berlebihan.
"Waalaikumussalam," ucap seorang diujung sana yang ternyata bukan Mas Agus melainkan Mbak Mirna, istri Mas Agus. Hal ini membuat Hawa langsung merasa lega, Mbak Mirna lebih bisa mengerti keadaannya dirinya dibanding dengan Mas Agus yang cenderung kasar dan suka membentak.
"Iih! sorong dong! sempit tau!" keluh Siti pada Nayla yang juga mengintip disampingnya. Semua santri yang mengintip Hawa pun memokuskan pandangannya pada Siti dan Naila.
"Apaan? kamu aja yang nyempit-nyempitin!" ucap Naila ketus tak mau mengalah.
"Ekhm..." deheman Hawa membuat mereka semua kalang kabut segera kembali ketempatnya masing-masing. Saking kalang kabutnya, terdengar suara meja dan kursi yang saling berbenturan.
Bukannya marah, Hawa hanya tersenyum. Ia tak pernah merasa terganggu dengan tingkah para santriwati yang tentunya sering mengundang tawa.
"Emm... ada apa ya mbak?" tanya Hawa memalingkan pandangannya dari jendela yang kini tak menampilkan wajah santriwati seorang pun.
"Mbak ganggu ya Wa?" tanya Mbak Mirna halus, ia sangat merasa tidak enak pada Hawa karena ulah suaminya yang bisanya cuma menghabiskan uang saja.
"Ya enggaklah Mbak, aku seneng kok kalau Mbak nelfon aku." ucap Hawa agar Mbak Mirna tak lagi merasa sungkan.
"Emm... begini Wa, ini masalah Ibu dan Bapak," kata Mbak Mirna menggantung, ia tentu ragu menyampaikan kabar yang mungkin akan membuat adik iparnya itu sedih.
"Ibu sama Bapak kenapa Mbak?" tanya Hawa khawatir, jarak yang selama ini memisahkan ia dan keluarganya tentu tak akan pernah membuat kasih sayangnya luntur.
"Ibu dan Bapak sakit Wa, dan Mbak sama sekali ndak punya uang untuk pengobatannya." terang Mbak Mirna lemas, ia tak pernah bermaksud merepotkan Hawa, tapi keadaanlah yang telah memaksanya.
Hawa menghela napas, raut sendu kini melingkupi wajahnya lagi. Ia merasa sedih karena saat kedua orang tuanya sakit ia justru tk dapat berada disamping mereka untuk merawat dan menemani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hawa & Air Mata
Spiritual"Cinta adalah anugrah yang patut disyukuri, tapi apakah aku harus bersyukur, jika cinta datang disaat aku telah terikat janji suci?" Hawa, wanita yang tumbuh dan berkembang dilingkungan pesantren dengan latar belakang keluarga yang teramat tidak mam...