Malam minggu waktu yang seru untuk jalan bareng sahabat, kerabat, utamanya pacar. Tapi sekali lagi, Isa lebih memilih bersemayam di dalam kamar nyaman dengan fasilitas lengkap milikinya.
Televisi 43 inchi yang menempel di dinding kamarnya menampilkan series Enola Holmes tapi fokus Isa saat ini pada gitar akustik di pangkuannya.
Isa memainkan alat musik tersebut dengan tenang. Bibir ranumnya sesekali bersenandung ria, mengikuti suara petikan gitar yang ia mainkan. Suara Isa memang tak begitu bagus, tapi di taraf masih bisa di dengarkan.
Gitar adalah salah satu alat musik yang Isa kuasai selain piano. Ia menekuni kegemarannya bermain kedua alat musik tersebut ketika ia mulai masuk bangku SMP. Saat setiap murid diharuskan ikut ekskul seni musik, dua alat musik itu Isa pilih dengan alasan, 'nggak perlu ribet beli alat, gitar punya abang gue kalau piano di rumah ada.'
Dan dengan tekat itulah Isa mengembangkan kemampuannya, menambah kesibukannya di hari-hari penuh kegiatannya.
Ya walaupun jika di pikir-pikir merepotkan, Isa lebih suka menghabiskan waktunya dengan cara melakukan aktivitas yang menguras otak serta tenaga di banding hanya rebahan atau berbelanja.
Di tengah kegiatan Isa memainkan gitar, kakak laki-lakinya datang menerobos pintu kamar Isa.
Abi menyembulkan kepalanya di antara celah pintu kamar Isa yang terbuka, dan tanpa menoleh pun Isa tau kalau abangnya ini sekarang tengah menyengir kuda, memperlihatkan deretan gigi yang berhias kawat gigi.
"Kebiasaan, nggak permisi dulu kalau ke tempat orang,"
Isa berdecak kesal, Abi berjalan menghampiri adik perempuannya sambil terkekeh senang.
"Permisi nenek lampir, pangerannya mama mau nyamperin Isa, cari racun buat ngejinakin nenek sihir macem lo!"
Abi langsung menjatuhkan tubuhnya di samping Isa yang tengah duduk bersandar di sandaran kasur. Tawa bahagia Abi teredam bantal empuk milik Isa.
"Pemborosan kata. Jadinya gue nenek lampir, nenek sihir apa Isa?"
Isa berucap sambil meletakkan gitarnya ke samping kasur, terapit meja nakas. Sekedar informasi, gitar yang Isa mainkan barusan bukan pinjam dari Abi lagi. Ia membeli benda tersebut setelah uang dari perlombaan Basket yang ia ikuti cair dua tahun lalu.
"Astaga Sa, coletehan nggak jelas begitu aja lo tanggepin? Bener-bener lo ya!" Abi membalikkan tubuhnya, menatap Isa sambil berucap tak percaya.
"Itu sepatu lo lepas dulu napa, bang!" Isa tak menghiraukan pertanyaan dari kakaknya. Ia malah menatap tajam kaki Abi yang masih terbalut sepatu tapi nekat naik ke tempat tidur seorang Louisa.
Abi terkekeh. Ia bangkit, duduk di tepi kasur. Suara notifikasi di handphone Isa membuat si empunya meraihnya dari meja nakas. Pesan dari Alya yang menanyakan persiapan materi ujian semester minggu depan segera Isa balas.
"Sa,"
"Hm." Isa mendehem singkat. Ia masih fokus membalas pesan dari sahabatnya.
"Teminin Abang ke club yuk!"
Abi mengucapkan kalimat tersebut tanpa beban. Mata Isa yang tadinya fokus ke layar ponsel di genggaman kini melirik Abi tajam.
"Enggak!" Isa menolak keras permintaan kakak lelakinya. "Lo enggak boleh kayak gitu bang! Abang kan udah janji sama mama-"
"Mama baru nggak ada-"
"Nah, justru karena mama lagi nggak ada bukan berarti lo bisa seenaknya keluar masuk bawa cewek dari club-"
"Sembarangan ngomongnya!"
Kedua bersaudara itu saling memotong kalimat yang di lontarkan. Tak ada yang mau kalah apalagi diam mendengarkan jika sudah seperti ini.
"Gue minum tapi bukan berarti gue suka mainin cewek, oneng!"
Isa diam membiarkan. Ia sudah melempar umpan. Kini ia biarkan Abi membuka semua simpanannya. Simpanan di sini bukan berarti uang apalagi isteri simpanan ya kawan-kawan, melainkan semua rahasia yang Abi tutup rapat-rapat, karena bagaimanapun juga, walau sudah tujuh belas tahun Isa hidup berdampingan bersama kakak lelakinya, Abi jarang sekali curhat soal hidup apalagi masalah hati dengan dirinya.
Mereka memang saudara, tapi juga tahu batas wajar mana yang bisa di beberkan dan mana yang harus menjadi beban pikiran untuk diri sendiri. Tapi masalahnya, mereka berdua ini terkadang kepo sama konflik yang sedang di alami oleh masing-masing dari mereka. Mungkin mereka berdua ini gengsi ya, buat curhat.
"Gue ngajak lo biar bisa kontrol diri gue, Sa,"
Umpan Isa ternyata kurang. Abi sadar, ia tidak kebablasan. Keluarga mereka memang sangat teliti dan berhati-hati. Lelaki tersebut kemudian merebahkan tubuhnya kembali ke atas kasur tapi dengan kaki yang tetap menapak ke lantai bawah.
"Kontrol apaan? Udah gila kali lo, bang! Enggak trauma sama kejadian yang kemaren? Katanya mau berubah, mana, ha?" Isa berucap kesal sambil menimpuk muka Abi dengan guling di tangannya. Abi merebut guling, kemudian bangkit duduk lagi.
"Sa! Lo tahu sendiri kalau perubahan itu di lakuin pelan-pelan!" Abi bermonolog, "kalau perubahan langsung sekali jadi, kasih tahu gue dong, gimana resepnya?"
"Heleh, alasan!" Kali ini Isa melempar bantal ke wajah Abi yang langsung di tangkap laki-laki tersebut.
"Jangan bikin Mama nangis lagi, gue lempar ke lubang buaya juga lo!"
"Gue janji, abis ini tiga bulan gue nggak bakal kelayapan!"
"Nggak usah janji-janji! Janji lo sama mama aja di langgar sendiri!"
Isa berucap sewot. Abi tertawa renyah. Ia kemudian memeluk guling, "jadi gimana? Situ mau temenin Abang biar nggak ke bablasan kan, neng?"
Abi berucap genit. Isa menatap sengit, "jijik anjir!" Sungutnya.
"Eh, eh, nggak boleh gitu. Omonganya jangan kasar lo ya, abang-"
"Keluar lo bang!"
"Lo gimana sih sa," Abi melepaskan guling di pelukannya, tatapannya kecewa sekaligus kesal, "gue-"
"Gue mau ganti baju, bego!"
Ucapan Isa menerbitkan senyum bahagia di bibir Abi.
"Oke, gue tunggu di mobil ya, jangan lebih dari lima menit, kalau lebih-"
"Tinggal aja sono!"
Isa memotong sewot. Tubuh tingginya menghadap lemari pakaiannya. Ia tengah mencari outfit yang cocok untuk di pakai menemani kakaknya ke dalam neraka.
"Ya enggak di tinggal juga," Abi menggaruk pipi kirinya yang tidak gatal, ia bingung memberi ancaman untuk Isa agar segera bergegas berganti pakaian, "ah! Pokoknya jangan lebih dari lima menit aja deh! Se you soon, Sa!"
Abi ngacir keluar dari kamar Isa tanpa lupa menutup kembali pintu kamar adik perempuannya.
"Se you soon palanya peang, orang nggak sampai lima menit juga gue keluar!"
Isa mendumel sendiri. Ia sebenarnya malas keluar rumah, apalagi tujuanya nanti adalah tempat haram. Tapi kakaknya benar, laki-laki tersebut bisa kebablasan tidak pulang tiga hari tiga malam kalau di biarkan.
Ya, memang seliar itu seorang Abi. Cuman sisi baiknya, ia tidak pernah mau memperlihatkannya di depan kedua wanita yang ia miliki, mama dan adik perempuannya.
Tapi malah menghilangnya Abi ini bikin stress dua orang tersebut. Sejauh yang Isa tahu, Abi adalah pecandu alkohol yang pengen insyaf.
Jika dihitung-hitung sudah enam bulan ini Abi berhenti minum, baru malam ini laki-laki yang umurnya lima tahun di atas Isa ngomong ingin minum lagi. Isa temani daripada kakak lelakinya itu nanti malah melakukan hal yang tidak-tidak secara sembunyi-sembunyi.
Mundur satu langkah untuk melompat dua sampai seratus langkah. Itu setrategi Isa malam ini.
Kalau sampai Abi melanggar lagi ucapnya, Isa tak akan segan membawa Abi ke lubang buaya, untuk wisata sejarah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Freedom Confidence
Mistério / Suspense[on hold] Kisah Louisa Noura Ali, gadis cerdas bermulut pedas dengan julukan 'si gadis pendebat'. Wajah cantiknya selalu di selimuti tampang jutek bin galak. Orang-orang harus mempersiapkan kesabaran ekstra untuk berhadapan denganya. Jika ia di inga...