4 - Literaly Lakers

15 1 0
                                    

Pagi menjelang. Matahari masih malu-malu menunjukkan sinarnya. Hujan semalaman mengakibatkan kabut tipis, tapi tak mengendurkan niat Isa untuk bermain basket rutin minggu pagi.

Isa yang sedang mengenakan Jersey Lakers bernomer punggung 23, milik si legenda Kobe Bryant, tengah mengenakan sepatu Kyrie lima favoritnya.

Isa memang sefanatik itu terhadap olahraga basket. Ia banyak belajar dari hobi yang kini merangkap sebagai profesi.

Beberapa kampus menawarkan beasiswa untuk Isa berkat aksinya di lapangan. Kini, walau Isa tengah rehab karena musim pertandingannya belum di mulai sekaligus  kesibukanya mengurusi lomba debat yang sudah masuk tingkat nasional menyita konsentrasinya, Isa masih menyalurkan bakatnya mencetak poin di lapangan, walau hanya pertandingan biasa melawan temannya.

Mamba Mentality masih Isa jadikan salah satu pedoman hidupnya.

Setelah Isa terlihat siap, ia berjalan menghampiri kamar kakaknya. Tangan kirinya memegang bola basket, sementara tangan kanan Isa gunakan untuk mengetuk pintu kamar Abi.

"Bang? Jadi ikut kagak?"

Kemarin Abi menerima tawaran Isa untuk bermain basket bersama Alya serta Yuki. Kedua perempuan tersebut memang tidak sejago Isa dalam bermain bola basket, tapi masih bisalah, Isa jadikan rival untuk mengasah skillnya menghindari lawan jika pertandingan.

Apalagi Yuki, gadis itu super hiper aktif. Jika sudah di lepas, ia akan bertindak seperti orang cacingan yang tidak mau diam.

"Bang?"

Isa mengulang. Ia mengetuk tapi tetap tidak ada jawaban.

Isa mencoba membuka pintu Abi dan ternyata memang tidak di kunci.

Di ambang pintu masuk, Isa mendengar suara seseorang yang mengeluarkan suara mual.
Isa yang tahu sumber suaranya dari mana berjalan menghampiri.

Di dalam toilet, Abi terduduk lemas di depan kloset.
Isa tergelak ketika tahu apa penyebab abangnya ini muntah-muntah seperti orang ngidam sepagi ini.

"Lu morning sick bang?" Isa bertanya di sela tawanya.

"Haduh Sa, janji dah, gue nggak bakalan nyium alkohol!"

Abi berupaya bangkit berdiri, Isa berjalan menghampiri kakak laki-lakinya, ia membatu memapah Abi kembali ke kasurnya. Laki-laki tersebut duduk bersandar di sandaran kasur.

"Nah, sekarang udah tahu kan lo kalau udah enggak kebal alkohol!" Isa berkacak pinggang di depan Abi. "Udah tua juga, bukanya tobat malah mau kumat!"

Isa mengomel sambil membetulkan selimut Abi, menutup tubuh Abi yang menggigil.

"Isa panggilan Tante Naya, ya, biar di periksa?"

Mendengarnya Abi membulatkan matanya tak percaya, "tega lo, Sa! Tante Naya kan dokter forensik!" Suara Abi masih cukup lantang walau mukanya terlihat pucat pasi, "dan gue cuma sakit alay, belum meninggal, setan!"

Isa tersenyum miring, "ya nggak papa, siapa tahu tante-"

"Udah sono pergi lo!" Abi memotong, tak berniat mendengarkan ucapan aneh dari adik gilanya ini.

"Sori bang. Kita ke dokter aja sekarang," Isa menyentuh dahi dan leher Abi, "lo demam, nanti kalau mama pulang dan liat lo kayak gini malah panjang urusan,"

Abi terdiam. Pikirannya berkelana. Pandangannya kosong menatap balkon kamarnya.
Isa yang tahu hal itu menampar pipi Abi lumayan keras.

"Sakit setan!" Abi mengelus pipinya yang memerah, Isa melipat tangannya di depan dada.

"Ngapain sih, sok sad boy, nggak pantes!"

Isa jengkel, Abi menunduk sambil mengusap-usap pipinya yang terasa kebas.

"Kalau ada masalah bilang bodoh, jangan-"

"Masalahnya elo oneng," Abi memotong, "udah sono lo keluar, kepala gue tambah pusing kan,"

Isa yang mendengar ucapan Abi malah duduk di pinggir kasur. Dia tak biasa melihat Abi yang pecicilan kini terlihat rada murung. Sakit bukan alasan bagi Abi untuk bisa diam. Terkadang Isa heran, walaupun yang sedarah adalah dirinya dan Abi, tapi kromosom Abi dengan Yuki beda tipis. Entahlah, bagaimana sebenarnya kehidupan ini.

"Bang, bilang sama Isa dong, ada masalah apa?"

Nada suara Isa memang tidak melembut-tidak, gadis itu tidak bisa bersikap anggun, wajahnya jutek dan nada suaranya galak, tapi Isa tak pernah bisa berbohong. Ia lebih senang meninggalkan lawan bicaranya dan di tatap benci daripada memberitahu fakta yang menyakitkan. Isa sebenarnya tidak tegaan, maka ia kini bersikap peduli kepada abangnya yang sakit.

"Gue nggak papa!" Abi merebahkan tubuhnya, memunggungi Isa yang masih menatap iba sekaligus curiga padanya.

"Udah sono, entar kalau lo kelamaan, si Sizune ngacak-acak rumah lagi,"

"Bang namanya Yuki, berhenti manggil dia pakai nama karakter di Naruto,"

Isa paling sebal dengan kebiasaan Abi yang kalau nyebut nama Yuki, pasti setiap detik berganti. Hampir semua nama di kartun Naruto ia sebutkan, katanya biar bisa inget jalan cerita anime tersebut.

"Iye, besok gue ganti nama-nama karakter Doraemon dah! Udah sono, pergi lo!"

Tangan Abi ia ayunkan ke udara, memberi gestur Isa untuk segera beranjak dari kamarnya.

Menghela nafas malas, Isa bangkit berdiri. Memperdulikan Abi itu sia-sia, sama dengan Isa yang tak ingin jadi perhatian, kakak beradik itu akan marah kalau ia di perhatikan. Aneh memang, tapi nyata.

"Gue telponin dokter, tunggu! Bi Asih nanti nyamperin bawa bubur, awas kalau enggak di makan, Pupu gue cukur bulunya!"

Pupu adalah kucing jantan ras Persia berbulu hitam pemberian mantan yang masih di piara Abi, bahkan sudah di anggap pacar sendiri. Tiga tahun terakhir menemani Abi yang jomblo ini. Kalau di pikir-pikir, perlakuan Abi ke Pupu lebih manusiawi daripada adik perempuannya sendiri. Di sayang-sayang, di ajak kesalon, kandang rutin di bersihkan, pokoknya perlakuan Abi ke Pupu itu sepesial, macem salah satu slogan mi instan.

"Jangan sentuh Pupu, dia itu-"

Isa tak mendengarkan kalimat lanjutan kakaknya yang teredam karena pintu kamar di tutup.

Gadis itu kemudian kembali ke kamarnya untuk mengambil telepon genggam kemudian membuat panggilan kepada dokter keluarga kepercayaan mamanya. Setelahnya, Isa mencari bi Asih, asisten rumah tangga di keluarga Isa yang sudah bekerja sejak Abi bayi untuk dimintai membuatkan bubur.

Selesai urusan, Isa menuju lapangan kompleks rumahnya.

Akhirnya, hasrat bermain basket yang sudah ia tahan seminggu penuh segera bisa ia luapkan.

Freedom ConfidenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang