1 - Virtual Talk

68 3 6
                                    

Awan kelabu mengiringi datangnya malam, mendesak sang mentari untuk segera terbenam. Rintik hujan yang dari tadi tertahan, kini mulai membasahi aspal hitam, suasana sendu yang tepat untuk menikmati minuman hangat sambil membaca buku di samping jendela.

Namun Isa melakukan hal yang berbeda, ia memilih sibuk merapihkan lemari pakaianya. Sebenarnya bukan pekerjaanya, ada asisten rumah tangga yang setiap sore selalu memasukan baju bersih ke dalam lemari, tapi sayangnya, tidak sesuai dengan standar yang Isa terapkan.

Sang asisten rumah tangga hanya memasukan pakain Isa sesuai dengan jenisnya, padahal yang sering Isa terapkan, ia selalu menyusun semua barangnya berdasar, jenis, ukuran, warna, serta bahannya. Ya, semerepotkan itu memang.

Tapi Isa hanya melakukan kegiatan yang sifatnya melelahkan ini jika ada waktu luang seperti sekarang, karena biasanya, hari-harinya selalu di isi dengan kegiatan bermanfaat nan menguras otak dan tenaga seperti, latihan basket, ekstra taekwondo, belajar, mengerjakan tugas, dan terkadang sibuk mencari materi untuk perlombaan debat.

Louisa Noura Ali memang jagonya bikin perdebatan. Bukan sekedar debat sama teman, pacar, atau abang nya yang menyebalkan, tapi debat yang sifatnya udah masuk perlombaan.

Sejak masuk bangku kelas dua sekolah dasar, mama Isa yang sudah tahu sifat dasar putrinya, pandai membuat lawan bicaranya tidak bisa membalas ucapan telak dari putrinya, menyalurkan bakat Isa ke sebuah rumah belajar khusus. Di sana bakat Isa semakin di asah, tiga bulan belajar Isa sudah berhasil membawa dua piala dalam lomba debat antar sekolah.

Setahun menekuni kelas khusus, Isa yang cepat bosan meminta kegiatan lain untuk mengisi waktu luangnya.

Melihat teman sekelasnya yang sering berkelahi, Isa meminta mamanya untuk memperlihatkanya semua jenis seni bela diri. Anna membacakan semua artikel yang berhasil ia kumpulkan kepada putrinya, dan pada akhirnya, pilihan Isa jatuh kepada Taekwondo.

Jenis bela diri asal Negeri Gingseng ini menarik perhatian Isa karena kekuatan kaki yang lebih di utamakan. Dan karena Isa semasa kecil ingin segara cepat tumbuh dewasa, ia beranggapan bahwa kalau dia sering menggerakan kakinya, maka semakin cepat pula kakinya tumbuh panjang. Entahlah, teori konyol seorang bocah berumur tujuh tahun.

"Gimana menurut kalian, oke enggak?" suara seorang gadis dari aplikasi video call tak mengusik Isa dari kegiatan menyusunnya.

Selain suasana kamar Isa, laptop di atas meja belajar Isa menampilkan dua wajah gadis di kolom yang berbeda. Si gadis di kolom sebelah kanan memiliki wajah khas mongoloid, walau nada suaranya medok. Maklum, meskipun keturunan Jepang, Yuki Ayame sejak embrio sudah tinggal di Surabaya. Baru dua tahun terakhir ini ia pindah ke Jakarta karena ikut ayahnya yang di pindah tugaskan ke Ibu Kota. Di SMA Budi Luhur ia bertemu dengan Isa dan Alya.

"Kalau gue sih terserah lo ya, Ki. Selama lo mampu belinya, dan pasti lo pakai, it's oke!"

Alya, gadis di kolom sebelah kiri memberikan pendapatnya. Ia mengacungkan kedua jempolnya sambil menyengir lucu, membuat Yuki tersenyum puas.

Alya Caroline Hartanto memang tipe gadis manis, baik hati, dan ramah kepada semua orang. Alya juga yang tahu betul bagaimana menghadapi seorang Isa yang orangnya sumbu pendek ini. Tujuh belas tahun umur Isa, tujuh belas tahun pula Alya mendampingi Isa.

Rumah mereka memang berada di satu komplek, tapi jarang sekali mereka berdua jalan bareng, itu juga karena selain Isa galak dan sering ngomong semaunya tanpa mikirin perasaan lawan bicaranya, Isa adalah tipe anak yang menganggap 'kalau yang lo lakuin nggak nguntungin, lebih baik belajar gimana bikin pemerintahan bersih dari bedebah bodoh yang ngerugiin masyarakat banyak!"'

Ya, memang serumit itu isi pikiran Isa. Dia tidak pernah mau melakukan hal yang percuma. Tapi beberapa tahun terakhir, Yuki adalah orang yang berhasil mengusik Isa dari kegiatan bermanfaatnya, selain Abi, kakak laki-laki Isa tentunya.

Mereka berdua tipe manusia nekat yang siap menghadapi kiamat dari semburan mulut pedas Isa. Setelah Isa teliti, ternyata kadar sikap acuh dan nggak pedulian yang di miliki oleh kedua orang tersebut lebih tinggi dari Isa.

"Heh manusia songong! Gimana menurut lo?"

Yuki bertanya pada Isa. Ia sedari tadi tengah meminta pendapat kepada kedua sahabatnya untuk membeli tas dari brand ternama incaranya yang saat ini sedang mengadakan potongan harga.

Isa meletakan dua baju berwarna hitamnya ke tumpukan baju paling atas. Jika dilihat-lihat, warna baju Isa ini monokrom, kalau tidak hitam, putih, ya abu-abu. Dan keseluruhanya hanya kaos. Ada tiga dress yang di gantung di lemari bagian kanan, tapi warnanya juga hitam semua. Sok misterius memang Isa ini.

Setelah semua pakaianya tersusun sesuai dengan 'standarisasinya', Isa berjalan ke arah meja belajarnya, lantas duduk di atas kursi kayu berbahan mahoni. Desain klasiknya sangat Isa kagumi, menambah kesan vintage di kamar tidurnya.

Dengan kedua tangan terlipat di depan dada dan kaki yang di silangkan, Isa menjawab Yuki, "lo pernah denger kalimat ini nggak, ketika lo pengen beli barang karena barang inceran lo ini lagi potongan harga sebesar lima puluh persen, lo itu nggak sedang ngehemat uang lo sebesar setengah harga, tapi lo lagi ngabisin duit setengah harga dari barang lo itu,"

Isa mengeluarkan teori-teori di kepalanya dengan ekspresi songongnya. Yuki yang mendengar ucapan Isa terlihat memasukan jari tengahnya ke dalam lubang hidung sebelah kanan. Sebenarnya sebuah ejekan yang ia tunjukan kepada teman sok teoritisnya.

"Gue nggak minta teori dari lo, gue minta pendapat lo, songong!" Yuki berkata kasar. Isa acuh memutar bola mata.

"Al, temen lo ini sesekali ajarin napa, jadi manusia, bukan filsuf Yunani all the time!" suara Yuki terdengar gemas, yap! Gemas yang jengkel pastinya.

"Heh Ayam!-"

"Wah! Udah mulai rasis nih bocah,"

Yuki memotong sambil tertawa remeh. Kedua tanganya ikut ia silangkan di depan dada.

"Itu tadi pendapat gue!" tanpa peduli, Isa menyambung kalimatnya, "gue nggak terbiasa beropini tanpa dasar yang pasti! Tapi terserah lo, lo beli juga pakai uang lo. So, up to you!"

Yuki dengan muka malasnya mendehem kecil. Alya terkikik geli. Dua sohibnya ini adalah mood booster baginya. Kalau tidak Isa yang diam karena malas menanggapi ocehan Yuki yang tidak mau kalah walau jelas omonganya sudah terkalahkan oleh jawaban pasti dari Isa, pasti Yuki yang tertohok oleh jawaban telak dari Isa kemudian ia akan ngambek tapi lima menit kemudian ia sudah lupa akan aksi mogok bicaranya.

Selama ini Alya hanya sering menjadi penengah, pemberi nasihat, atau lebih mudahnya, Alya adalah ibu peri bagi Isa sekaligus Yuki untuk beberapa tahun terakhir. Dia dengan sikap lemah lembut serta dewasanya membawa kedamaian bagi dua sahabatnya, utamanya Isa, si gadis pendebat.

"Oke, gua bakal beli tu tas-"

"Jangan lupa, 2 ½ persen sumbangin buat orang yang membutuhkan." Isa memotong cuek, matanya fokus pada novel yang baru ia buka.

"Ah! Mau boker gue! Bye alya! Bye manusia rasis bin sosiopat!"

















Ps. Just say happy new year everyone! Berharap lebih baik di tahun depan, sama di permudah cari inspirasi supaya bisa rajin-rajin update xD

Freedom ConfidenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang