Membuka kelopak mata indahnya perlahan, gadis bernama Sonia itu mengerjap, mencoba menerima cahaya sang mentari yang perlahan masuk melalui celah jendela. Tangannya meraba-raba, mencari benda gepeng berbentuk persegi panjang berwarna hitam yang sudah ia klaim sebagai belahan jiwa, ponsel.
Menekan tombol power, benda itu otomatis menyala, menampilkan layar kunci yang dihiasi oleh wajah kucing kesayangan dan juga jam digital dengan angka delapan nol nol di sana. Ah, masih terlalu pagi. Lebih baik Sonia kembali tidur saja, melanjutkan mimpi bertemu dengan para Oppa.
Rencananya, terpaksa harus batal karena sang Ibunda tercinta sudah berkacak pinggang tepat di depan mata, jangan lupa pelototan tajam dan mulut yang siap mengeluarkan omelan khasnya.
"Apa, ih, Mimi? Biasa aja liatin Tetehnya, udah bangun kok ini." kata Sonia membuka lebar kedua matanya. Menyakinkan sang Ibu yang biasa ia panggil dengan sebutan Mimi itu agar segera keluar dari kamarnya.
"Mandi!"
"Nanti aja kalo mau ashar, biar sekalian."
"Mandi buru! Pak Kuwu tadi nelpon nyuruh kamu dateng ke balai desa, pake baju yang rapi. Cepet, Sonia!" (kepala desa)
Menghembuskan nafas berat, Sonia memilih pasrah lalu berjalan gontai ke arah kamar mandi, melawan sang Ibunda ratu itu bahaya. Selain mendapat dosa, Sonia terancam tidak diberi makan nantinya.
🌼🌼
Panas dingin, gemetar, perut mual dan juga mulas mulai dirasakan oleh Sonia, kebiasaannya sejak dulu jika dilanda rasa gugup. Itu salah satu alasan utama kenapa Sonia masih nganggur sampai saat ini, ia selalu gugup saat diwawancarai oleh HRD, dan ujungnya, ia mendapat penolakan.Menyedihkan.
"Sonia? Neng Sonia, kan?" Sonia menoleh, menatap orang yang menyapanya tadi sebelum mengangguk mantap.
"Duduk dulu sok silahkan, sambil nungguin yang lain." kata Pak Kuwu mempersilahkan Sonia duduk di kursi tamu.
"Iya, makasih, Pak." balas Sonia canggung. Keringat dingin makin membasahi keningnya, apa ia akan melakukan wawancara kerja lagi? Tapi, Sonia 'kan, tidak merasa memberikan surat lamaran?
"Butuh ini?" refleks berdiri, Sonia langsung dihadapkan dengan dada bidang seseorang. Gadis mungil itu dibuat melongo, laki-laki di depannya ini sangat tinggi, dan ehm, wangi.
"...makasih." Sonia lalu mengambil sapu tangan yang tadi ditawarkan.
Memalukan!
Apa keringatnya terlalu banyak sampai laki-laki itu tau?
"Neng Sonia, itu orang yang bakal kamu bantuin nantinya. Namanya Banu."
Oh, namanya Banu... Banu? Banu?!
Sonia mendongak, menatap nyalang laki-laki yang barusan ia puja dalam hati. Sial! Kenapa harus Banu—laki-laki yang selalu ia kutuk dari masa sekolah dasar?!
Semesta pasti sedang bercanda!
Kejadian sebelas tahun yang lalu kembali berputar di pikirannya, seperti film dokumenter. Kejadian yang membuatnya membenci pakaian berwarna merah, kejadian yang membuatnya mengutuk seorang Banu Sakhi Al-khalaf.
-sebelas tahun yang lalu-
"Sonia! Tungguin atuh, aku teh capek bawa-bawa jerigen! Sonia, ih! Kop labuh kena, kop!" seorang anak berseragam putih merah dengan rambut kepang dua berusaha menyejajarkan langkahnya dengan anak berseragam lainnya, anak bermahkota sebahu, Sonia namanya. (nanti jatuh, lho!)
KAMU SEDANG MEMBACA
IRIDESCENT
Fanfiction(n). warna warni. Seperti kehidupan seorang Sonia Chaerunisa setelah bertemu lagi dengan laki-laki yang selalu ia kutuk eksistensinya, Banu Sakhi Al-khalaf. [!!!] Chaengwoo AU lokal ver. ©meyuuli, 2020.