Hari kedua, itu berarti sudah dua hari Sonia bekerja sama dengan laki-laki yang paling ia benci. Sebenarnya dibilang bekerja pun, Sonia merasa kerjaannya terlampau ringan. Ia hanya diminta mencatat ulang data ke dalam buku besar, lalu merekapitulasinya ke dalam komputer. Pekerjaan inti sepenuhnya dikerjakan oleh Banu, Sonia terima beres saja.
Tapi siapa peduli? Yang penting gajinya penuh, dan Sonia bisa memanfaatkan waktu luang untuk bergosip dengan Juwita melalui aplikasi chat, atau sekedar menonton drama yang tengah digemari.
Ngomong-ngomong, jika diperhatikan dengan benar, Banu itu masuk ke dalam kriteria cowok tampan idaman. Hidungnya yang mancung, alis tebal, bibir merah alami, beberapa bekas jerawat yang mulai samar namun tidak mengurangi kadar ketampanan, belum lagi tubuhnya yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan tinggi rata-rata cowok Indonesia, dan Sonia tidak akan pernah lupa dengan wangi parfum yang digunakan oleh Banu.
Jika saja laki-laki itu tidak menorehkan kejadian traumatis di masa lalu, Sonia tidak akan berpikir ulang untuk jatuh cinta padanya. Bahkan pada detik pertama mereka bertemu, Sonia yakin ia akan langsung jatuh hati.
"Apa?"
"Hah?" sial, lagi-lagi Banu sadar jika sedang diperhatikan!
"Kamu liatin saya, kan?" Banu memperhatikan Sonia balik dengan seksama.
"Apaan, sih? Orang saya liatin kucing, kok." jawab Sonia menghampiri kucing berbulu oranye lalu berusaha memegangnya, "Aww!" sial, lagi! Bukannya disambut dengan suka cita, kucing itu justru mencakar tangan Sonia.
Apa jangan-jangan kucing barbar itu tau jika Sonia hanya memanfaatkan keberadaannya?
"Sonia— merah..." kata Banu pelan sambil menunjuk luka bekas cakar di tangan Sonia.
"Masih sempet bahas me—" terdiam, Sonia mengikuti arah pandang Banu yang tengah memperhatikan tangannya dengan sedikit panik. Ada bercak merah di atas lukanya, "Ini darah, tau!"
"Iya, maaf. Maksud saya, tangan kamu berdarah. Sebentar, saya minta obat ke puskesmas dulu." Banu lalu berlari menuju puskesmas yang letaknya tepat di depan balai desa.
Sonia kembali diam, kenapa banu mengganti kata darah dengan warna merah? Lalu, kenapa malah Banu yang justru panik sampai pucat pasi padahal Sonia yang terluka?
Apa itu artinya, sebelas tahun yang lalu, Banu tidak bermaksud mempermalukannya? Laki-laki itu hanya kesulitan menyebut kata darah? Memang, sih, saat itu Sonia baru sadar jika pahanya tergores batu tajam hingga mengeluarkan darah. Tapi, kan—
Au ah pusing! Pokoknya sebelum dia minta maaf, dia gak bakalan dapet jodoh, titik!
"Sini, saya bantu obatin." tawar Banu yang sudah membuka kotak p3k. Ia meraih tangan Sonia, lalu mengobatinya dengan telaten.
Membuka mulut, Sonia kembali mengantupkan bibirnya, begitu terus sampai Sonia kesal sendiri. Ia penasaran soal Banu yang ia kira memiliki fobia pada darah. Sonia ingin bertanya, tapi gengsi rasanya jika harus membuka pembicaraan.
Pasalnya, Banu terlihat serius sekali saat mengobati luka di tangan Sonia yang sebenarnya hanya goresan kecil itu. Gadis itu jadi sangsi, Banu itu hemaphobia atau tidak, sih? (fobia darah)
🌼🌼
"Pake ini?" tunjuk Sonia pada motor CBR berwarna hitam dengan malas.Tadi Pak Kuwu menyuruhnya menemani Banu menyurvei tempat yang cocok untuk dijadikan sarana irigasi sekaligus budidaya ikan nila.
Sonia ingin menolak ikut saja, apalagi kalau harus dibonceng menggunakan motor seperti itu. Yah, Sonia memang tidak pernah suka dengan motor besar sejak dulu, selain ribet karena terlalu tinggi, Sonia juga enggan menjadi pusat perhatian. Motor seperti itu masih terhitung langka di Desa tempat tinggalnya.
"Emang kenapa?" Banu mengernyit.
"Ribet, ah. Saya gak mau ikut aja."
"Terus nanti yang bantuin saya siapa?"
Sonia berdecak pelan, bukankah biasanya Banu melakukan tugasnya sendirian? Sonia, kan, tinggal terima hasilnya saja.
"Sendiri, lah."
"Kamu gak suka motor saya, ya?"
"Iya. Suaranya berisik, naiknya ribet. Mana yang punya motor kayak gitu sukanya pamer lagi, suka tebar pesona biar ditempelin cewek."
"...terus sukanya naik motor apa?"
"Matic."
Banu bungkam, matanya menelusuri parkiran, mencari motor matic yang mungkin bisa ia pinjam. Tapi sayangnya, "Gak ada motor matic di sini, Sonia."
"Tuh, ada sepeda." tunjuk Sonia asal pada sepeda yang entah milik siapa. Sengaja, Banu pasti akan kesal dan memilih pergi sendiri.
"Yaudah tunggu sebentar, saya tanya dulu itu punya siapa."
Loh, kok?!
Ini tidak sesuai dengan ekspetasi Sonia! Seharusnya Banu kesal lalu pergi sendiri ke sana! Tempatnya lumayan jauh dan harus melewati jalanan berbatu, pasti akan memakan waktu lama jika harus naik sepeda!
Kenapa? Kenapa malah Sonia yang terus-terusan dibuat kesal oleh tingkah Banu? Sejak kemarin, Sonia selalu memantik api permusuhan, dan sejak kemarin juga, Banu selalu memadamkannya dengan kelembutan.
Wah, sumpah. Bisa gila aku lama-lama!
"Itu punya Bapak kamu, katanya boleh dipinjem, sampe malem juga gapapa."
"...hah?"
i r i d e s c e n t
KAMU SEDANG MEMBACA
IRIDESCENT
Fanfiction(n). warna warni. Seperti kehidupan seorang Sonia Chaerunisa setelah bertemu lagi dengan laki-laki yang selalu ia kutuk eksistensinya, Banu Sakhi Al-khalaf. [!!!] Chaengwoo AU lokal ver. ©meyuuli, 2020.