PROLOG

158 9 0
                                    

Aku duduk ditepi ranjang pengantin dengan kepala tertunduk. Sedari tadi pandanganku tak bisa lepas dari benda pipih berwarna hitam yang sedang kukenggam. Karena asyik sendiri aku sampai lupa dimana aku berada sekarang. Hingga sebuah suara mengejutkanku, nyaris membuat handphone ku terjatuh.

"Astaghfirullahal'adzim". Aku menoleh kesamping, tersenyum kikuk.

"Ning zara dari tadi dengerin aku gak sih?! Sibuk sama hp mulu, gak tau apa ini jantung rasanya mau meledak". Maudy menatapku lewat cermin riasnya dengan kesal. Aku nyengir lantas berjalan kearahnya.

"Maap ya dari tadi gak dengerin, lagian kamu kan tinggal nunggu aj". Belum selesai aku berbicara Maudy sudah terlebih dulu memotongnya.

"Tinggal nunggu kamu bilang? Kamu si belum ngerasain gimana rasanya nunggu kalimat sakral itu diucap".

"Shut".

Kutempelkan jari telunjukku pada bibir merah Maudy, samar-samar suara seorang laki-laki yang sedang mengucap ijab qobul terdengar. Tak lama setelahnya disusul dengan suara teriakan 'sah' oleh banyak orang.

"Alhamdulillah sah!". Teriakku dengan Maudy bersamaan. Kupeluk tubuh Maudy yang dibalut gaun berwarna putih dengan hati-hati. Tanpa sadar air mata kami meluruh. Huuuft , lega rasanya.

Aku melepas dekapanku. Dengan perlahan kuusap pipi Maudy menggunakan tisu. Aku menggenggam tangannya, membawanya keluar.

"Maudy, selamat ya sayang". Itu suara Mbak Firoh yang langsung memeluk Maudy ketika aku membuka pintu kamar ini.

Aku tersenyum menatap Maudy yang digandeng Mbak Firoh menuruni anak tangga. Dibawah sana seluruh mata menatapnya dengan suka cita, terutama seorang lelaki berkemeja putih khas seorang pengantin yang menunggu diujung tangga. Lagi-lagi aku tak mampu menahan air yang ada dimataku.

"Sebenernya mau senyum apa mau nangis sih? Kalo senyum ya senyum aja, kalo nangis ya nangis jangan dicampur aduk kek gitu".

Aku menoleh kesamping tatkala suara seseorang terdengar. Segera kuusap air mata yang sedari tadi mengalir saat tersadar siapa orang yang sedang berdiri disampingku.

Bagus, kenapa coba ini air mata turun pas ada dia sih?

"Loh emang kenapa kalo kamu nangis didepan aku? Salah?".

Aku terbelakak mendengar ucapannya, segera kuturuni anak tangga guna menyusul yang lain. Kesal rasanya jika apa yang ada di fikiranku selalu dibaca oleh laki-laki itu.

***

Pukul sebelas malam, setelah acara akad selesai dan membantu membersihkan rumah, aku duduk dikursi yang ada ditaman belakang rumah Maudy. Tanganku mengusap beberapa foto yang sedang kuamati. Secercah senyum terbit diwajahku tatkala mengingat semua tentang dulu.

Tanpa kusadari sebuah kain memelukku dari belakang. Wangi parfumnya masuk kedalam indra penciumanku. Aku sedikit tersentak karenanya.

"Eh, makasih jaketnya". Ucapku sembari menatapnya yang kini sudah duduk disebelahku.

"Iya masama. Kamu ngapain disini? Kalo masuk angin gimana?".

"Hehe pengen aja disini".

"Kenapa gak bilang? Tau gitu aku temenin dari tadi".

Ucapannya sontak membuatku terkejut. Aku menunduk, tak berani jika menatap matanya. Takut kalau apa yang sedang kufikirkan kembali ia baca.

"Kamu lagi megang apa?". Tanyanya seraya menarik album yang sedang ku pegang, sontak aku mengangkat kepala, menatapnya.

"Eh, ini kan album pondok angkatan Maudy? Iya bukan sih?". Tanyanya.

"Iya, itu album kenangan angkatan Maudy. Iseng aja pengen pinjem". Jawabku. Kali ini kuberanikan membalas tatapan matanya.

"Album pondok ya? Jadi keinget dulu". Laki-laki dihadapanku ini tersenyum, lantas menatap lurus kedepan. Aku mengerjap, lalu ikut menatap kedepan.

"Iya".

***

Assalamualaikum gusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang