Sesuai pengumuman tadi malam, hari ini santri baru berdatangan. Sejak pagi tadi para pengurus baik putra maupun putri sudah bersiap di ndalem.
Arsyi bendahara pondok dan Milan - wakil lurah pondok berada di dapur untuk menyiapkan minum. Reni dan Tara dua sekretaris pondok putri bertugas membawa minuman untuk tamu. Zara dan Indi bertugas untuk mengurus administrasi dan pendaftaran. Sedangkan para pengurus putra bertugas membantu memakirkan kendaraan tamu dan membantu mengangkut barang-barang santri baru.
"Ini jam berapa sih?". Zara membuka handphone pondok yang memang sengaja mereka bawa jika ada pesan dari ustadz ataupun ustadzah.
"Empat lebih dua puluh lima". Gumam Zara.
"Eh udah hampir setengah lima? Mbak Zara capek gak?". Tanya Indi yang berada disamping Zara.
"Capek mbak".
Zara menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangan yang ada diatas dampar. Untunglah sore ini tamu yang datang tak seramai pagi hingga ba'da dzuhur tadi.
"Mbak Zara, Mbak Indi gimana? Udah capek ya?". Suara Ibu Nyai Aminah sontak membuat Zara mengangkat kepalanya. Keduanya tersenyum.
"Tunggu sebentar lagi ya, harusnya hari ini masih ada satu san".
"Assalamu’alaikum, bu". Suara Firoh yang baru saja masuk kedalam memotong ucapan Ibu Nyai Aminah.
"Wa'alaikumsalam, ono opo tho nduk? Kok kamu lari-lari gitu?". Ibu Nyai Aminah menatap Firoh dengan panik.
"Eh ngapunten bu, itu santri baru dari Jakarta Yang tadi dijemput sama mas Agung udah sampai". Jelas Firoh.
"Bagus itu, terus anaknya dimana? Suruh kesini aja?".
"Lah itu bu masalahnya. Mending ibu kesana liat sendiri, dia ada di depan masjid".
"Owalah, yaudah ayo kesana. Mbak Zara, Mbak Indi ayo ikut sekalian".
Zara dan Indi yang tidak tahu apa-apa hanya menurut dan mengikuti mereka dari belakang.
***
Ibu Nyai Aminah, Firoh, Zara, dan Indi yang baru saja sampai terkejut ketika mendengar perdebatan seorang perempuan dengan Agung-supir di pesantren Miftahul 'Ilmi. Kini depan masjid benar-benar ramai oleh para santri.
"Kok lo dari tadi banyak bacot sih?! Gue kan lagi ngomong sama dia bukan sama lo!".
Perempuan itu mengarahkan jari telunjuknya kearah Kyai Abdullah, dengan tatapan mata yang tertuju pada Agung.
"Mbak Maudy, aduh. Itu jarinya mbok ya diturunin". Agung terlihat panik sendiri.
Kyai Abdullah tersenyum, lantas menurunkan jari Maudy dari depan wajahnya.
"Maudy, kan Abah sudah bilang. Abah tidak menyuruh ayah kamu untuk menitipkan kamu disini".
"Kalo gitu dibayar berapa lo sama bokap gue? Gue ganti".
"Maudy, ini bukan masalah dibayar atau tidak. Lagian kalo kamu mau mengganti uang pendaftaran dari orang tua kamu ya sama saja kamu memakai harta mereka. Toh harta yang kamu miliki bukan asli punya kamu, tapi orang tua kamu. Iya tho?".
Maudy diam kali ini. Dia sadar jika dirinya sudah kalah telak.
"Iya gue ngalah, puas lo!". Maudy menyandarkan punggungnya pada pintu depan mobil, tangannya terlipat didepan dada.
"Abah, Abah ndak papa kan?". Ibu Nyai Aminah mendekat mengusap lengan suaminya.
"Abah ndak papa. Oh ya bu, Abah pengen Maudy biar satu kamar sama Ning Zara".
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum gus
Teen FictionKisah ini bercerita tentang Mazara Sanjaya, seorang putri kyai yang memendam rasa pada salah satu dari dua gus kembar. Dan juga persahabatannya dengan gadis berandalan.