part 2

5 3 0
                                    

Kepalaku berasa gepeng terinjak gajah, setiap kali melihat mereka bertengkar. Namun, itu memang sudah risikoku sebagai laki-laki ganteng yang memiliki tiga istri.

Sepertinya, mereka tidak akan berhenti bertengkar sebelum petir menyambar. Jadi, aku putuskan saja pergi ke dapur makan sendiri di bawah meja.

Aku sempat berpikir, untuk apa punya istri tiga? Kalau makan sendiri di bawah meja dan ditonton oleh para tikus dan jajarannya. Di saat seperti inilah kadang saya menyesal sudah berpoligami.

"Beh! Babeh! Juli mau berangkat sekolah dulu! Juli mau pamit, Babeh di mana, sih?" Anak ketigaku mencari ke dapur.

"Abi ... Abi di sini, 'kan?" Aisyah juga ikut mencari.

"Pih! Apa Papih masih hidup?" Anak pertamaku sepertinya berharap aku pergi ke alam barzah.

Ketiga putriku terus berteriak memanggil. Aku pun akhirnya muncul dari bawah meja. Mereka terkejut dan mengira, bahwa aku ini adalah tuyul sipit.

"Buset dah! Babeh ngapain semedi di mari?" tanya Juli.

Aisyah kemudian membantuku berdiri sambil bertanya. "Masyaallah ... Abi kenapa makan sendiri di sini?"

"Papih malu-maluin banget, sih! Masa konglomerat makannya di bawah meja? Udah gituh, makannya cuma sama ikan teri doang!" cetus Rania.

"Udah jangan pada ribut! Kalian mencari daddy kemari pasti karena mau minta uang jajan, 'kan?" tanyaku.

"Babeh cerdas amet, sih. Tau aje kite  lagi butuh dana buat jajan," ucap Juli sambil cengar-cengir.

Aku langsung merogoh dompet dalam saku celanaku yang berwarna merah muda. Lalu kuambil uang kertas satu gepok.

"Nih! Ini uang jajan buat Juli lima juta. Tolong dihabiskan dalam satu hari, yah! jangan sampe ada sisanya dan jangan lupa juga bersedekah." Juli langsung mengambil uang itu.

"Tenang aje, Beh! Soal menghabiskan uang, Juli jagonye!" ucapnya terkekeh.

Aisyah juga sama, kuberi uang jajan sehari lima juta. Namun, dia itu memang hidupnya sederhana, tidak boros dan tidak pernah berpoya-poya.

Uang lima juta yang kuberi untuknya hanya dia pakai 3000 ribu rupiah untuk jajan seblak dan 2000 ribu rupiah untuk membeli teh kotak.

Sisanya dia pakai untuk sedekah kepada orang yang membutuhkan dan ditabung untuk mewujudkan cita-citanya membangun yayasan panti asuhan.

Rania juga aku kasih uang jajan setara dengan Juli dan Aisyah. Meskipun dia sudah punya penghasilan sendiri, aku masih tetap sering memberinya uang, karena dia memang yang paling boros di antara kedua sodaranya.

Dia selalu meminta dibelikan barang-barang mewah dan bermerk. Terakhir, dia minta ingin dibelikan mobil yang ada magic com-nya.

Uangku itu sangat banyak. Jadi, tentu saja aku langsung membelikannya. Maaf, yah. Aku itu bukan sombong hanya sedang sedikit pamer saja.

"Yaudah, Bi. Aisyah pamit mau pergi kuliah dulu, yah! Assalamualaikum."

"Juli juga, Beh! Pamit, yah!"

"Rania juga pamit dulu, Pih."

Aku mengantar ketiga putriku itu ke depan rumah. Mereka lalu mencium tanganku dan tangan emak-emak mereka.

"Hati-hati di jalan, yah, Sayang!" ucapku sambil mencium kening mereka satu per satu.

Aisyah pergi diantar oleh sopir pribadi keluarga. Juli lebih suka pergi memakai sepedah bersama temannya dari orok yang bernama Danu.

ISTRIKU TIGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang