Juli terus fokus memperhatikan gerak-gerik Aisyah dan Thoriq. Ia kemudian menghampiriku dan ketiga istriku dengan raut wajah yang kebingungan.
"Beh! Kak Isah ntuh, 'kan, jarang banget ngomong. Si jangkrik juge kagek ngomong, kalau kagek ditanye. Juli liat-liat, mereka kagek pernah ngobrol. Bagaimane mereka pade punye anak, entar?" Pertanyaan anak ketigaku membuat dahiku berkerut.
Aku tidak menjawab, karena sudah dijawab lebih dulu oleh ibunya. "Heh, Juli! Bikin anak mah kagek perlu pake ngobrol segale! Langsung aje."
Ketiga istriku langsung tertawa sampai mengeluarkan air mata, dan aku hanya geleng-geleng kepala melihat mereka yang seperti kesurupan.
Juli planga plongo sambil menggaruk-garuk bulu alisnya. Putri ketigaku itu sepertinya tidak paham dengan apa yang dikatakan ibunya.
"Maksudnye ... gimane, Nyak? Juli kagek paham," tanyanya menyelidik.
Ketiga istriku tidak menjawab, mereka malah pergi menjalani aktivitas masing-masing. Istri pertama pergi shoping, istri kedua membantu ART beres-beres rumah dan istri ketigaku seperti biasa rebahan sambil nonton kumenangiss ....
***
Baru saja setengah hari Aisyah pergi, aku sudah rindu dan khawatir. Soalnya, ini pertama kalinya putri keduaku itu keluar rumah tidak denganku.
Aku memutuskan menelepon Ridho, untuk menanyakan keadaan Aisyah. Ternyata, putriku sangat diterima dengan baik oleh keluarga besar suaminya.
[Semua orang yang ada di rumah saya sangat senang melihat Aisyah, Ton! Terutama istri saya.] Suara Ridho terdengar sangat bahagia.
[Syukurlah kalau begitu. Semoga Aisyah dan Thoriq secepatnya ngasih kita cucu, ya, Do!] balasku.
Ridho kemudian membujukku supaya Aisyah diperbolehkan tinggal dirumah dia karena istrinya sangat menyukai putriku.
Aku terpaksa menolak permintaan sahabatku itu. Soalnya, aku takut mobilku yang harganya tiga miliar hasil kerjaku selama satu minggu, dibakar oleh Juli---putri ketigaku.
Ridho tidak henti-hentinya memohon. Dia berjanji akan memperlakukan Aisyah seperti putri raja. Tidak akan menyuruhnya membereskan rumah dan lain-lain seperti pembantu karena pelayan di rumah Ridho memang sudah sangat banyak.
Tukang sapu lima belas orang, tukang kebun delapan orang, tukang masak lima orang, tukang nyuci empat orang, dan tukang nyari kutu di rambut Thoriq sepuluh orang.
Aku sangat percaya, Ridho tidak akan membiarkan putriku bernasib seperti di sinetron yang sering ditonton oleh istri ketigaku yang berjudul 'Mertuaku Pelit, Kejam Dan Jarang Gosok Gigi.'
Namun, aku masih tidak percaya kepada Thoriq. Aku tetap merasa takut, kalau dia akan memperlakukan Aisyah dengan kasar.
Ridho terus membujukku selama hampir lima jam sampai aku terkantuk-kantuk mendengarnya. Lalu, kemudian ia memberi saran.
[Ton, gimana kalau gini aja. Satu minggu mereka tinggal bersama keluarga kamu di situ dan satu minggu kemudian, mereka tinggal bersama keluarga saya di sini. Setuju tidak?] ucap Ridho antusias.
Aku berpikir sejenak lalu menjawab. [Baiklah, Do. Saya setuju!]
Ridho sangat senang mendengar jawabanku. Kami pun mengakhiri percakapan. Aku lega ternyata Aisyah disukai oleh mertuanya.
***
Thoriq dan Aisyah kembali ke rumah sore hari. Aku melihat mereka dari atas tangga, putriku dan suaminya masih terlihat sama-sama dingin. Mereka berjalan berdampingan, tetapi seperti tidak saling mengenal.