Pertama
«⟨‹‹--✧◝(⁰▿⁰)◜✧--››⟩»
Tubuhku masih gemetaran, napas sesenggukan, dan badan bau kotoran. Seorang anak lelaki yang melihatku berpelukan mesra dengan Clara seraya mengeluarkan sisa-sisa makanan yang batal dicernanya, membantuku menyingkirkan sosok yang saat ini menjadi mayat.
Orang-orang mulai berkerubung di sekitar, melihat dengan tatapan aneh padaku dan jasad Clara. Sebisa mungkin kukendalikan ketakutanku, menguburnya dalam-dalam mendekati tubuh yang kian membiru itu. Tidak, mereka semua memang sering memandangku aneh. Gadis kelahiran Indonesia, dibesarkan seorang Tante jomblo ngenes, dan kerap berperilaku nyentrik—kata kebanyakan orang. Namun, sekarang bertambah lagi labelku di mata mereka. Maksudku, gadis mana yang mau mendekati cairan menjijikkan berwarna kehijauan, menggenang hingga merembes ke jasad seorang gadis yang kukenal sebagai teman sekamar selama satu semester terakhir.
Syok? Tentu. Aku masih waras dan memiliki hati. Akan tetapi, ini bukan saatnya menyesali apa yang sudah pergi. Dalam senyap, sejujurnya aku tidak percaya dengan semua omong kosong ini. Kemarin, Dion menumpang di kamarku semalaman karena takut pembunuh itu masih berseliweran di sekitar asrama, dan kini aku mendapat bukti jelasnya. Clara tewas setelah diracun sianida kurang lebih setengah jam yang lalu. Bagaimana aku bisa tahu? Oh, ada jejak serbuk teh tubruk di sudut pipinya yang tidak terkena muntahan asam lambung bercampur cairan beracun itu. Kemudian, hanya racun itu yang mampu membunuh manusia dalam kurun waktu paling singkat. Bau mantelnya juga teh menjelaskan banyak hal bahwa aroma teh di sini hanya bertahan sebentar saja. Seberapa banyak kandungan sianida? Aku tidak tahu, tetapi ada semacam obat pereda nyeri yang turut tercampur dalam lambungnya.
"Ao, mundur!" Telapak tangan besar itu menarikku, memeluk dari belakang dengan posesif seolah takut diriku direnggut oleh muntahan sianida. "Tetap di belakangku sampai para guru datang," perintahnya menyembunyikan tubuh mungilku di balik punggung.
Rambut hitamnya tertiup semilir angin, parasnya semakin terlihat tegas dari belakang. Tinggi ... aku hanya sebahunya yang bidang, kadang membuatku selalu berpikir apakah pantatku dan Dion akan muat di kanan-kirinya? Di balik sifatnya yang selama ini dingin nan cuek, Grayson cukup baik padaku. Satu hari itu, dia juga yang turut hadir melindungiku pasca peristiwa jasad kembar dalam tandon.
Beberapa menit, aku hanya mematung menelaah jasad Clara dari jarak sekitar dua meter. Pada detik-detik terakhir, barulah isak tangis mengucur dari bibirku. Tidak peduli apa kata orang, aku jatuh bersimpuh di lantai bersalju tipis. Dua temanku menghampiri, salah satunya mencoba membantu berdiri lagi meski gagal. Otakku tidak percaya kenyataan gila ini. Cuma mimpi, 'kan?
"Hei, hei, Ao!" Kedua tangan Almera menangkup pipiku, menunduk demi melihat wajahku yang sembab oleh air mata. "Kau harus mengganti mantelmu, ayo jangan dilihat terus!" Dia berusaha mengalihkan pandanganku dari cairan sianida yang kini berbau amis.
Manikku menangkap bercak kecoklatan basah nan lembab di bagian celana belakang krem Clara. "Dia diracun," desisku, "pelakunya pasti tahu Clara suka minum teh." Aku telah menepis tangan Almera, mengembalikan pandanganku pada jasad yang semakin biru dan membeku ditengah udara dingin. "Tidak jauh-jauh dari sekitar sini ... tapi siapa?"
"Kau gila, dasar otak kriminal," hardik lelaki yang ikut mendekatiku. "Astaga, Ao! Kau berantakan, dan jangan mendekat padaku kalau kau tak lagi mandi!"
Aku berdecak, menatap Dion dengan seringai jail. Namun, niatku memeluknya urung akibat tatapan semua orang di sekitar menjadi lebih aneh padaku. Menyerot ingus paksa, kutarik langkahku sendiri meninggalkan kerumunan juga Almera dan Dion yang tertegun.
Mereka memang seperti itu, asal kalian tahu saja. Sebagai seorang warga negara Indonesia yang menjalani pertukaran pelajar, tentu fisikku berbeda dari yang lain. Lebih pendek, rambut lebih gelap, manik gelap, tetapi kulit pucat akibat lama tak terkena sinar matahari. Ditambah lagi sifatku yang aneh—mereka bilang. Suka menyendiri, asik dengan diri sendiri, omongan sarkas lima puluh persen, dan mereka mengiraku arogan dengan wajah tanpa ekspresi. Temanku bahkan hanya seputar Clara, Almera, dan Dion.
Jadi kuindahkan segala macam tatapan tajam mereka selagi kuseret kakiku menuju kamar, melewati lorong panjang lainnya. Oke, katakanlah aku seperti pengidap DID. Tiga menit yang lalu aku menangis, dan sekarang isi benakku hanyalah teka-teki di secarik kertas pada saku mantel Clara.
Gardenia putih dengan semburat kuningku bukan untukmu. Seorang bernama Aodine akan menyimpan bunga dariku selamanya.
«⟨‹‹--✧◝(⁰▿⁰)◜✧--››⟩»
Aes
B²/L/TOkay, telat ap ಥ‿ಥ tak apa
Hayu mainan kembang!
Hayu mainan Lego biologi!Lagi, saya dikejar Thanthe buat apdet
Sekian terima gaji
Saya tidak digaji
KAMU SEDANG MEMBACA
INCONCINNUS - Aesyzen-x
Mystery / ThrillerSeorang pembunuh menyelinap di antara kami, beradaptasi secara transparan dan sempurna, membuatku sulit menduga siapa pelakunya. Itu hanya kabar buruk pertama. Yang kedua adalah asramaku bangkrut. Penyebab utamanya adalah tuntutan seorang wali murid...