8.2.6

23 7 4
                                    

Kedua

«⟨‹‹--✧◝(⁰▿⁰)◜✧--››⟩»

Pakaianku sudah bersih, tak ada lagi mantel berlapis sianida. Aku tidak mandi! Tidak dalam cuaca sedingin ini! Beruntung, hari ini hingga seminggu kedepan hanya persiapan. Para guru dan Ibu Asrama akan menetapkan peraturan baru, kamar baru, dan kelas baru.

Koperku masih tergolek di sudut lantai kamarku dan Clara—setidaknya pernah menjadi kamar kami. Kuhela napas panjang, menenangkan diri sendiri dengan berpikir positif. Baiklah, yang harus kulakukan setelahnya adalah makan siang bersama di lantai satu, mendengarkan beberapa sambutan dan pengumuman kepala sekolah selepas itu. Namun, ada hal yang lebih penting yang harus dilakukan sekarang-

"AODI!" Pintu diketuk keras, lalu tanpa menunggu jawabanku dibuka begitu saja oleh pemuda bersuara pirang kecokelatan. "Jangan tinggalkan aku, astaga ... apa itu?!" Tunjuknya panik melihatku memegang selembar lipatan kertas. "Kau mengambil barang bukti?!"

Aku bangkit, menutup koperku dan duduk di tepi ranjang dengan alis bertaut. "Kutemukan di saku mantel Clara. Ini teka-teki," gumamku menelaah surat itu lagi. "Pembunuh pasti ingin kita menemukannya, bagaimana menurutmu?" Kusodorkan kertas itu pada Dion yang ikut duduk mendempetku di sisi ranjang.

Matanya menelaah sejenak. "Gardenia putih dengan semburat kuningku bukan untukmu. Seorang bernama Aodine akan menyimpan bunga dariku selamanya ... kau? Apa hubungannya denganmu?" tanya Dion panik. "Tidak ada yang boleh mengambil gadisku!" Dia berkacak pinggang, menekuk wajah.

Pipiku memanas. Astaga jantungku! "Tapi apa maksud gardenia putih?" Kali ini aku sungguhan tidak mengerti. Bunga itu tidak ada dalam list bunga-bunga cantik yang kucatat.

"Gardenia putih menandakan kemurnian, tapi jika terdapat semburat kuning pada pusatnya maka ia berarti cinta rahasia. Menarik, kawanku satu ini punya penggemar rahasia," katanya mengembalikan kertas itu padaku. "Menurutmu, siapa yang pernah menaruh hati padamu? Kecuali aku tentunya." Dion berdeham, membuang muka sambil mengelus tengkuk.

Anak ini benar-benar lucu. "Siapa yang mau naksir sama cewek setinggi satu setengah meter, berpipi tembem, sarkastik, dan dianggap gila satu asrama?" dengkusku mencondongkan bahu ke depan, menatap ujung sepatu kulit milikku.

"Dasar cewek pesimis, ayo liat jasad Clara." Pantatnya bangkit, meraih tanganku untuk mengikutinya. "Guru sudah mengamankan TKP, dokter dipanggil untuk melakukan autopsi jenazah setelah kakaknya kembali mengantarkan ponsel Clara," jelasnya sambil berjalan beriringan denganku.

Ini di luar rencana, tetapi tak apa. Makan siang masih beberapa jam lagi, dan aku tidak keberatan mengantar Dion. "Apa lagi yang kau tau? Nampaknya telinga itu berfungsi dengan baik," komentarku.

Dion hanya menggidikkan bahu. "Terserah apa lagi sarkasme darimu kali ini. Mereka akan membawa jasadnya sebentar lagi, ayo cepat!"

Benar saja. Di lapangan tempat kejadian perkara sudah ada para guru dan Ibu Asrama kami menghalau siswa-siswi lain mendekat. Satu dua melongo tidak percaya, beberapa yang menangis terisak kuduga adalah teman dekat Clara lainnya, dan gadis yang berteriak tepat di depan wajah Ibu Asrama dipastikan kakak kandung Clara. Orang tuanya bercucuran air mata memegang ponsel, menelpon seseorang sambil meminta pertanggungjawaban pihak sekolah. Namun, pelajaran bahkan belum dimulai, dan itu berarti masih di luar tanggung jawab asrama.

Tangan yang menarikku membawa kami lebih dekat dengan kerumunan, di mana bau anyir dan kotoran manusia tercium kuat. Sejujurnya, mataku perih melihat keadaan mayat di dalam lingkaran itu. Namun, aku tidak tahu reaksi apa yang harus kukeluarkan. Menangis tak ada gunanya, berteriak apa lagi, Clara tidak akan pernah bangun lagi.

Ini akan jadi pagi yang panjang!

«⟨‹‹--✧◝(⁰▿⁰)◜✧--››⟩»

Dua ratus orang siswa, tiga puluh guru, sepuluh kepala asrama, tiga satpam, dan tiga tamu keluarga Clara. Kami makan bersama di lantai dasar, meja makan panjang sudah lengkap dengan peralatan makan beserta hidangannya. Kami bertiga—aku, Dion, dan Almera—duduk tenang menadahkan tangan untuk berdoa dengan keyakinan masing-masing. Makan siang terasa berlangsung singkat. Hampir semuanya diam dan fokus pada piring sendiri-sendiri, menyisakan suara denting peralatan makan yang beradu.

"Aku punya sesuatu untuk kalian, rahasia. Lima belas menit setelah kembali ke kamar masing-masing, datanglah ke kamarku. Akan kutunjukkan sesuatu," ucap Almera menelungkupkan sendok dan garpunya.

Dion dan aku mengernyit. "Kenapa tidak sekarang saja?"

Namun, Almera hanya diam. Ini tidak seperti dia yang biasanya ceria dan gemar mengajakku membicarakan rambut Dion yang ingin sekali dia kepang atau kuncir kuda seandainya lebih panjang lagi sedikit. Mungkin anak itu terpukul atas kepergian Clara. Mereka lebih dekat dan sering meluangkan waktu bersama untuk sekedar membicarakan Dion yang lebih senang menempel padaku.

"Oke ... kalau begitu, aku ikut ke kamar Ao saja. Masih ada yang harus kucurigai dengannya." Lelaki di sebelahku ikut meletakkan alat makannya, aku menyusul.

Setelah itu, suasana kembali hening. Bahkan setelah berdoa, dan dipersilakan kembali ke kamar masing-masing, aku turut diam. Pikiranku kembali teringat kenangan bersama Clara. Caranya memelukku dan Dion, celotehannya tentang anak lelaki, wajah marahnya padaku kalau dia merasa diindahkan. Sayangnya aku tak tahu harus bagaimana lagi.

Kecuali ....

"Ao! Aku memikirkan sesuatu, hei! Seseorang ini, siapapun yang menyukaimu atau si pengirim surat itu, dia pasti tau beberapa tentang bunga. Artinya, mungkin seseorang dari klub berkebun!" celetuk Dion, menutup pintu kamarku.

Kepalaku ikut berpikir. Rasanya tidak benar. "Siapapun bisa saja menyukai bunga. Tidak harus anak-anak dari klub berkebun, Dion. Kau perlu sesuatu yang lebih spesifik lagi." Aku akan ikut membantu anak itu mencari siapa pembunuh Clara.

Saat kami sama-sama terdiam dengan isi kepala masing-masing, sebuah suara dari speaker kamarku mengeluarkan suara pelan. Dion yang lebih dulu menyadarinya, mengguncang pundakku cepat-cepat, menunjuk benda kotak hitam kecil di sudut atas ruangan. Suaranya disamarkan, hingga aku tidak bisa benar-benar mengetahui gender sang penyiar.

"Aku kesal, kalau kalian mau tahu. Akan kuberi kau bunga lily kuning ... dari Aodine. Apa yang kau pikirkan, gadis manis?"

Aes
C²/L/T

Aku berusaha ap sungguh-sungguh ._.
Demi Thanthe
Demi om Dana
Dana cuma halu

Sekian terima gaji
Saya tidak digaji

4lineee
Liat sini dulu, bung!
Ahay

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 29, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

INCONCINNUS - Aesyzen-xTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang